Surat terakhir dari ibuku...
Teruntuk anakku Mbak Ovi dan Dek Isna
Maafkan ibu jika selama ibu sakit gak bisa menjaga kalian berdua
Jangan tinggalkan sholat dan slalu doakan ibu cepat sehat
Kalianlah penyemangat hidup ibu
Ibu sayang kalian berdua
Suhartuti Kusumo W
Ya, itu surat dari Ibuku. Ibuku yang kala itu sedang berjuang mengalahkan kanker usus yang semakin hari melemahkan fungsi organ-organ di tubuhnya. Surat itu kuterima di sore yang mendung, tanggal 7 Februari 2015. Surat yang membuat pikiranku berlari kesana-kemari. Surat yang membuat air mata ini tidak bisa berhenti mengalir ketika membacanya. Akankah aku kehilangan Ibuku?
Seusai Idul Fitri tahun 2014, Ibu mengidap penyakit tumor di usus besarnya.
“Temenin Ibu periksa ke dokter yuk, Nduk. Perut Ibu sakit kok nggak sembuh-sembuh,” ajak Ibuku.
“Ayo! Ke dokter mana, Bu?” tanyaku.
“Dokter kandungan aja, siapa tahu yang bermasalah rahim Ibu.”
Ketika periksa ke dokter kandungan lalu di-USG, dokter mengatakan ada suatu massa di perut Ibuku yang sudah membesar dan meradang, namun bukan di daerah kandungan. Dokter menyarankan untuk periksa ke dokter spesialis bedah. Keesokan harinya pagi-pagi sekali, aku sudah siap mengantar ibuku ke rumah sakit untuk perika ke dokter spesialis bedah. Aku hanya tinggal bertiga dengan Ibu dan adik perempuanku.
Bapakku masih ada. Namun, kuakui perhatian Bapakku sangatlah kurang kepada keluarga karena sibuk bekerja. Bapakku pun jarang sekali pulang ke rumah, sehingga setiap ada masalah apapun di keluarga, akulah yang bertugas meng-handle-nya, termasuk mengantar Ibuku ke rumah sakit saat ini.
“Bu, di usus besar Ibu ada tumor yang sudah tumbuh besar. Saya tidak tahu apakah tumor itu jinak atau ganas. Sebaiknya segera dioperasi, lalu nanti tumor tersebut diperiksa ke laboratoriun untuk diketahui jinak atau ganas.”
Mendengar hal tersebut, seperti petir di siang bolong menyambar keras Ibuku. Sebelumnya, Ibuku pernah mengalami sakit tumor payudara jinak. Ibuku menangis. Aku pun bersedih menatapnya. Ibuku langsung memutuskan akan menjalani operasi keesokan harinya.
“Ibu takut Ibu meninggal, nanti yang jagain Mbak Ovi sama Dek Isna siapa?” kata ibuku dengan raut muka bersedih. Air mataku semakin menjadi-jadi. Keesokan harinya aku mengantar ibuku kembali ke rumah sakit untuk melakukan operasi.
Operasi berjalan lancar walaupun ibuku terus-terusan merintih kesakitan ketika pengaruh obat biusnya sudah lewat. Beberapa hari setelah operasi, hasil laboratorium telah keluar. TUMOR GANAS. Akankah aku kehilangan Ibuku?
Setelah membaca hasil tersebut, Ibuku segera memutuskan untuk kemoterapi. Kemoterapi pertama, kedua, ketiga dilewati ibuku masih dengan senyum di wajahnya. Masih dengan candaan yang dilontarkannya.
Sehelai demi sehelai, rambut ibuku rontok. Mulai kemoterapi keempat hingga kemoterapi kedelapan ibuku semakin melemah, melemah, dan melemah. Ibuku sudah hampir menyerah. Kemoterapi yang dijalani setiap bulan tidak mampu membunuh sel tumor di tubuhnya. Sebaliknya, sel tumor tersebut telah berkembang menjadi sel kanker yang semakin hari menjalar di sekujur tubuhnya sehingga ibu tidak pernah lagi tidur lelap dan selalu merintih kesakitan.
Rumah Sakit Ken Saras, 11 Maret 2015 Pukul 17:30. Ibuku menghembuskan nafas terakhirnya.
Patah hati terhebat sepanjang hidupku. Aku kehilangan Ibuku. Setelah sebelumnya terjadi sesak nafas hebat pada Ibuku. Tubuhnya menggigil. Rupanya sel kanker jahat itu telah menggerogoti paru-parunya. Seisi ruangan yang hening sebelumya, menjadi pecah dengan tangisan.
Banyak keluarga yang datang saat itu menemaniku dan adikku. Lagi, lagi, Bapakku tidak ada. Beliau sedang berada di luar kota dan baru akan sampai ke rumah keesokan harinya. Aku cium kening Ibuku untuk terakhir kalinya. Aku berbisik di telinga Ibuku,
Aku sekarang tahu Bu, arti cinta sebenarnya itu bukan rela mati untuk orang yang kita sayang, namun rela bersakit-sakit untuk tetap bertahan hidup agar kita bisa menjaga orang yang kita sayang. Aku sayang Ibu.
Tuhan, aku titip sepucuk surat untuk ibuku yang cantik di surga.
Bersama sayup-sayup lagu Cinta untuk Mama yang dipopulerkan Kenny. Apa yang kuberikan untuk Mama, untuk Mama tersayang. Tak kumiliki sesuatu berharga untuk Mama tercinta. Hanya sebuah lagu sederhana, lagu cintaku untuk Mama.Kutulis surat ini untuk Ibuku.
Assalamualaikum, Ibu cantik.
Apa kabar di akhirat, Bu?
Sudah nggak sakit lagi ‘kan, Bu?
Ibu nggak usah khawatir, di sini aku menggantikan semua peran Ibu.
Aku sudah bisa masak.
Aku sudah pintar mengatur keuangan.
Aku sekarang sedang menyelesaikan skripsi, Bu.
Insha Allah, aku akan lulus dengan predikat cumlaude.
Seperti harapan Ibu.
Doakan aku dan Dek Isna selalu ya, Bu.
Rumah jadi sepi tanpa Ibu.
Nggak ada teman curhat yang se-good listener Ibu lagi.
Aku rindu sekali sama Ibu.
Aku janji aku akan selalu kuat seperti pesan Ibu di mimpi.
Aku akan berjuang untuk tetap hidup dan menghidupkan orang-orang sekitar dengan kebaikan dan kasih sayang seperti yang diajarkan Ibu.
Sering-sering main ke mimpi ya, Bu.
Aku dan Dek Isna nggak lupa sholat dan doakan Ibu.
Aku sayang sekali sama Ibu sampai kapanpun.
Terima kasih perjuangannya dan cintanya selama Ibu hidup, Bu.
Sampai jumpa di surga, Ibu cantik.
Ditulis dengan cinta, rindu, dan air mata
Claudia Herzegovina Putri
0 Response to "Tuhan, Titip Sepucuk Surat untuk Ibuku di Surga"
Post a Comment