Oleh : Fajar Shadiq
Jurnalmuslim.com – Jika belakangan banyak muncul lelucon tentang Mukidi, saya malah tak tertarik menertawai kehidupannya. Bukannya saya beraliran anti mainstream yang suka melawan arus. Tapi memang saya tahu benar kalau kehidupan sehari-hari Mukidi tak selucu seperti yang sering diceritakan banyak orang.
Asal tahu saja, Mukidi tak sepolos yang dibayangkan. Saya kenal betul sebab dia adik kelas saya semasa belajar kitab kuning di sebuah pesantren pinggiran Bekasi. Setelah lulus mondok, Mukidi seperti kebanyakan teman-teman seangkatannya, berprofesi sebagai guru. Suatu kali, ia juga pernah mencoba bisnis ternak lele, namun karena tak punya jiwa dagang, tak lama bisnisnya pun merosot drastis.
![]() |
illustrasi, mukidi |
Kini, setelah lama tak berjumpa, saya dengar Mukidi jadi agen deradikalisasi BNPT (Badan Negara Penanganan Teroris, red). Foto-foto kegiatannya bersama aparat keamanan beredar di media sosial. Saya cukup terkejut. Ini sangat bertolak belakang dengan kiprah Mukidi semasa di pondok yang selalu bangga mengenakan kaus Usamah bin Ladin, sebagai simbol perlawanan Amerika.
Setelah janjian melalui Facebook, saya pun bertemu dengan Mukidi di sebuah kedai kopi yang belum lama buka. Sambil menyeruput kopi sidikalang, percakapan ringan pun mulai mengalir.
“Ane kok belum bisa paham, kenapa sekarang ente jadi sering ‘tabligh keliling’ sama BNPT?” Aku masih coba memperhalus agendanya dengan BNPT dengan istilah ‘tabligh keliling’.
“Ya ente tahulah, kang. Sekarang ini banyak orang pake istilah jihad sembarangan. Ngebom sana-sini. Rame-rame baiat gabung ISIS. Ini kan menyimpang dari ajaran Islam. Makanya kita luruskan,” kata Mukidi dengan mimik meyakinkan bak politisi ulung.
Mukidi melontarkan kata-demi katanya dengan mantap. Gaya komunikasinya jauh meningkat lebih baik dari pertemuan terakhir yang bisa saya ingat.
“Soal ISIS dan oknum-oknum yang mengatasnamakan jihad itu memang betul ada. Tapi kan fenomenanya harus ditelisik lagi. Apakah itu murni inisiatif oknum tersebut atau justeru ada yang mendesain dan mematangkan? Lagi pula menjelaskan perkara itu kan gak perlu bareng BNPT,” ujar saya.
“Lho kenapa memangnya kalau bareng BNPT?” Tanya Mukidi.
Sebelum menjawab, saya menyeruput lagi kopi yang sudah hampir dingin.
“Jadi begini Muk. BNPT punya agenda sendiri dalam menjalankan proyeknya. Program deradikalisasi terorisme yang sekarang ini sedang dijalankan oleh BNPT merupakan program untuk menghapus istilah dan nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam khususnya istilah jihad yang merupakan ruh umat Islam demi tegaknya Syariat Islam. Istilah seperti tauhid, jihad, syariat, Al-wala wal bara dianggap istilah yang ekstrem oleh BNPT.
“Kemudian, BNPT pun menjelaskan bahwa radikalisme merupakan paham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik, sosial, politik dengan menggunakan kekerasan, berpikir asasi dan bertindak ekstrem.
“MUI Surakarta pernah menjelaskan jika definisi ini diterima, maka setiap paham yang membolehkan adanya tindak kekerasan juga tetap termasuk radikalisme, meskipun kekerasan itu bukan satu-satunya jalan. Jadi, Rasulullah SAW juga radikal, karena menyerang Makkah waktu Fathu Makkah, Amerika juga radikal, karena menyerang Iraq, menyerang Afghanistan, membombardir sebagian wilayah Pakistan dalam rangka mengejar dan menyerang para ‘teroris’ menurut versi AS. Polri/Densus 88 juga radikal, karena menangkap, menyerang, menyiksa dan membunuh banyak orang yang mereka beri label teroris.
“Kemudian, berpikir asasi adalah perbuatan yang dianggap salah oleh BNPT, padahal dalam dienul Islam, berpikir asasi ini diperlukan dalam menentukan hukum, membedakan antara baik dengan buruk dalam batas-batas Al-Islam, untuk mengontrol apakah suatu keputusan yang diambil itu menyalahi kaidah atau tidak. Tanpa berpikir asasi, orang tidak akan pernah bisa mengambil keputusan yang benar. Lebih dari itu, deradikalisasi adalah deislamisasi,” jelas saya panjang lebar.
Mukidi tampak diam. Dia terlihat kikuk seperti orang kehilangan pegangan. Lalu Mukidi mengalihkan pembicaraan.
“Ente masih inget Paijo, kang?”
“Masih,” jawabku.
“Sekarang dia kuliah ambil S3 di Lithuania. Dapet sponsor dari kedutaan,” kata Mukidi.
Dari kawan-kawan alumnus Pondok Pesantren, tersiar kabar bahwa Paijo sudah cukup sukses. Dia pernah bikin film dokumenter tentang terorisme, juga menjual cerita teman-teman seperjuangannya lewat sebuah buku yang laris manis. Terakhir, Paijo bikin film berjudul “Jihad Sepi”.
“Ente kenal Mukijan?” Tanya Mukidi lagi.
“Aku masih inget wajahnya,” jawab saya. Saya masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan Mukidi.
“Sekarang dia sukses jualan es krim cingcau dan tahu bulat. Anak buahnya sudah puluhan,” tambahnya.
Saya cuma bisa memonyongkan mulut sambil manggut-manggut. Memberi isyarat mafhum.
“Marsidi juga. Sekarang dia sudah punya yayasan sendiri. Aku tak sendirian, kang, kerja sama BNPT,” kata Mukidi tersenyum picik.
Kini saya mengerti. Mukidi mencari pembenaran. Semua nama yang disebut Mukidi adalah orang-orang yang kerjasama dengan BNPT melalui program deradikalisasi dan disengagement. Nama yang terakhir disebut Mukidi, bahkan sering muncul di layar kaca. Marsidi terkenal sebagai pengamat terorisme. Setiap ada kejadian terorisme dia yang paling pertama dikejar wartawan sebagai sumber berita. Marsidi sebenarnya bukan WNI, dia dapat suaka dari republik ini karena dianggap berjasa membantu pemerintah mengatasi terorisme. Di negara asalnya, Marsidi dikejar-kejar aparat sejak zaman rezim Idi Amin.
Saya tak perlu membantah ucapan Mukidi. Sepanjang pengamatan saya, juga diperkuat dari keterangan para mantan terpidana terorisme. saya berani menyimpulkan ada dua jenis manusia yang mau bekerjasama aparat jadi agen deradikalisasi. Jenis pertama, memang orang-orang yang kapok betulan menapaki jalan perjuangan yang semula ia yakini benar. Jenis kedua adalah tipe manusia pragmatis yang pada awalnya hanya mau uangnya saja. Tapi lama kelamaan akhirnya hatinya pun terbeli dan enggan kembali menapaki jalan dakwah karena memang hatinya sudah berkarat, atau keburu dicap pengkhianat oleh rekan-rekan perjuangannya.
Menurut saya, Mukidi adalah manusia jenis kedua. Dia tipe pragmatis galur murni. Penilaian itu bukan hanya sekadar pengamatan di masa sekolah dulu, tapi mudah terlihat melalui kiprahnya saat ini. Mukidi masih fasih mengajar tauhid dan jihad fi sabilillah kepada murid-muridnya saat dia berprofesi sebagai guru. Tapi sesekali dia diundang dalam acara bedah buku atau tabligh akbar. Kalau sudah begitu, ia punya nama panggung sendiri. Abu Bakwan Al-Malangi. Lengkap dengan atribut gamis dan surban melingkar di atas kepalanya. Nah, kalau sedang ‘tabligh keliling’ memenuhi undangan aparat atau BNPT. Mukidi bisa ber-mimikri. Ia mengganti kulitnya bak bunglon saat diserang musuh. Saat diundang di sebuah pondok pesantren beberapa saat lalu, misalnya, Mukidi tampil perlente dengan celana bahan dan kemeja yang lipatannya masih rapih.
“Muk, aku dengar istrimu nambah lagi?” Saya mencoba bertanya untuk memecahkan kebekuan.
“Hehe.. Kalau soal gosip, rasanya Kakang tak pernah ketinggalan,” jawab Mukidi.
“Dengan siapa Muk?” Tanya saya penasaran.
“Inget Siti Mighrofah yang dulu incerannya Kang Sirwal?”
“Lho kok mau, ente jadiin istri kedua. Pake jurus apa ente Muk?” Kali ini saya terkekeh setengah takjub.
“Ini jurus maut dari Kitab Rayuan Jilid Ketiga,” katanya menggombal.
Meski bisnisnya seret, saya salut dengan kenekatan Mukidi nambah istri. Tapi yang saya dengar, justru karena perkara itulah Mukidi jadi agresif menawarkan proposal ke lembaga-lembaga pemerintah. Konon, setiap acara tabligh atau bedah buku, Mukidi menyodorkan proposal dengan anggaran 40-60 juta rupiah. Tapi namanya juga rumor, kadang salah kadang banyak betulnya.
Sering pegang duit puluhan juta rupiah bukannya membuat Mukidi makin sumringah. Kabar burung beredar, anak istrinya masih sering kelaparan. Hutangnya pun makin menumpuk tak pernah terbayar. Mungkin karena harta Mukidi gak berkah.
Senja semakin meredup di pinggiran Bekasi. Gelas-gelas kopi kami sudah kosong tinggal ampasnya. Sedari awal saya tak pernah mencoba menghakimi polah Mukidi. Sebagai kakak kelas, saya cuma menggugah hatinya lewat obrolan ringan sambil ngopi.
“Ini oleh-oleh buat ente, Muk.” Ujar saya sambil memberikan sebungkus kopi luwak kesukaannya. “Meskipun ini berasal dari pantat musang tapi dijamin halal 100%. Lebih halal dari amplop BNPT.”
“Hahaha.. Bisa aje ente,” jawab Mukidi sambil nyengir.
Meski disindir begitu tetap saja dia menengadahkan tangannya demi menerima sebungkus kopi luwak pemberianku. Dasar Mukidi.
*Penulis Adalah Jurnalis Media Islam
(antiliberalnews)
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
0 Response to "Ketika Mukidi Jadi Agen Deradikalisasi"
Post a Comment