penggusuran salah satu lahan oleh Ahok |
Seakan tanpa terganggu hiruk pikuk aksi di halaman markas besarnya di bilangan Salemba-Cikini. Seperti diketahui, pada saat yang bersamaan PDI Perjuangan sedang menyelenggarakan Sekolah Partai untuk para calon kepala daerah yang diselenggarakan di Depok, Jawa Barat, semenjak beberapa hari yang lalu. Pada acara tersebut, pemahaman ideologi Trisakti seperti diajarkan Bung Karno, bagi para calon kepala daerah menjadi tema besar.
Analis dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra memandang PDI Perjuangan pasti sedang menyusun strategi dan taktik yang tepat untuk menghadapi Pilkada serentak di tahun 2017, terutama di wilayah yang menjadi barometer politik nasional semacam DKI Jakarta.
"Melihat serunya acara seperti diberitakan, PDI Perjuangan mungkin sedang menimbang kembalinya ajaran Bung Karno yang progresif revolusioner di DKI Jakarta. Hanya sangat disayangkan, menurut massa yang datang kemarin ke kantor DPP PDI Perjuangan, Gubernur Ahok belum menjalankan ajaran-ajaran Pancasila yang mengutamakan kemanusiaan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat DKI."
Saat ajaran kemanusiaan dan keadilan tidak membumi, menurut alumnus ITB ini, maka reaksi dari masyarakat semacam itu pasti akan selalu datang ( baca http://m.rmol.co/read/2016/09/07/259845/Karnaval-Anti-Ahok-). Ia melanjutkan,
“Pesan dari masyarakat wong cilik jelas, Ahok tidak membumi bersama ajaran Bung Karno. Semisal dalam kasus penggusuran, sangat terlihat jelas bahwa cara-cara yang ditempuh Ahok sangat bertentangan dengan Kemanusiaan dan Keadilan Sosial. Ada laporan dari para penggiat kemanusiaan bahwa kebijakan pembaruan kota yang dilakukan Gubernur Ahok dengan cara menggusur banyak menyisakan air mata di kalangan wong cilik.”
Seperti diketahui, sebelumnya publik diramaikan dengan hasil kajian dari peneliti Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, yang tertuangdalam artikelnya (4/9) di salah satu situs online, (baca: http://indonesiana.tempo.co/read/87991/2016/09/04/mgspalupi/penggusuran-paksa-itu-bukan-relokasi-guntur-romli) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan publik tentang penggusuran di DKI Jakarta.
Pertama. Perlawanan masyarakat terhadap penggusuran terjadi secara kontinyu, tanpa mempedulikan ada Pilkada atau tidak. Kedua. Penggusuran yang dilakukan Gubernur Ahok telah semakin menelantarkan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan LBH Jakarta, misalnya, menunjukkan, sepanjang 2015 terdapat 113 kasus penggusuran paksa di Jakarta dengan korban 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Dari jumlah kasus tersebut, 72 kasus (63 persen) tidak ada solusi bagi warga korban. Ketiga. Fasilitas yang dijanjikan sebelumnya pada warga korban gusuran, banyak yang tidak terealisasi.
Padahal menurutnya Indonesia sejak 2005 telah meratifikasi instrumen internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Budaya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005, yang salah satu pasalnya menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan perumahan yang layak.
Terkait dengan hak atas perumahan tersebut, Komisi HAM PBB memasukkan penggusuran paksa dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia melalui resolusi Nomor 24 tahun 2008. PBB juga mengeluarkan panduan dan prinsip agar penggusuran dan pemindahan atas nama pembangunan tidak melanggar HAM.
Menurut panduan tersebut, relokasi dan penggusuran dibenarkan dan tidak disebut sebagai pelanggaran berat HAM apabila memenuhi ketentuan, di antaranya: (a) tak ada alternatif lain selain penggusuran; (b) adanya konsultasi publik dan musyawarah antara warga tergusur dan pemerintah untuk menghindarkan penggusuran dan meminimalkan resiko; (c) dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan, (d) ada kompensasi dan rehabilitasi yang adil dan menyeluruh; (e) dilakukan tanpa kekerasan dan sesuai norma hak asasi manusia; (f) tidak membuat kehidupan warga memburuk.
Kajian yang dilakukan LBH Jakarta menyebutkan, dalam pasal 1963 junto 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur tentang hak warga yang sudah menduduki tanah/lahan selama 30 tahun atau lebih untuk mengajukan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah bisa diperoleh melalui pemberian lahan oleh negara atau mengajukan permohonan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sri Palupi menegaskan adanya alternatif lain yang jauh lebih manusiawi ketimbang penggusuran paksa. (konfrontasi)
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
0 Response to "Wong Cilik: Cara Ahok Memimpin Jakarta Sangat Bertentangan dengan Asas Kemanusiaan"
Post a Comment