Keistimewaan Ende Selamatkan Nyawa Dua Bronco OV-10F Bronco milik TNI AU. [DN Yusuf/Angkasa] ♣
Sebelum digelarnya pertempuran di Timor-Timur (sekarang Timor Leste) tahun 1976-1977 (Operasi Seroja), dua ‘Kuda Liar’ OV-10 Bronco dari Skadron 3 TNI Angkatan Udara yang masing-masing ditunggangi Marsekal Muda TNI (Purn) M. Koesbeni dan Marsekal Muda TNI (Purn) INT Aryasa—pada saat itu keduanya masih berpangkat Kapten—diterbangkan dari Malang menuju ke Baucau (Timor-Timur).
Rute yang dilalui kedua kuda liar ini adalah Malang menuju Denpasar untuk refuel, setelah itu menuju Kupang sebelum sampai ke Baucau. Namun seusai melakukan refuel di Denpasar, Koesbeni dan Aryasa ingin melakukan penerbangan split langsung menuju Baucau tanpa melewati Kupang.
Pada saat itu cuaca sedang berawan walau awan isolated—awan aktif yang belum menjadi satu atau bergumpal—. Namun pada saat itu Koesbeni dan Aryasa menganggap rintangan awan isolated itu dapat mereka hindari.
Penerbangan split pun dilakukan untuk langsung menuju Baucau. Setelah melewati Lombok dan masuk ke Sumbawa ternyata permasalahan tiba menghadang mereka. Dugaan mereka untuk bisa melewati awan isolated ternyata salah, karena awan itu telah berkumpul dan menutup pandangan dan jalan. Kuda liar dan penunggangnya dalam masalah besar dan ketegangan pun menghiasi penerbangan mereka karena berbagai kemungkinan fatal sangat mungkin terjadi.
“Kita sudah hampir melewati point no return, enggak bisa kembali lagi. Kalau balik juga terjebak, kalau terus (melanjutkan penerbangan) juga masuk ke cuaca (terjebak di awan bergumpal). Benar-benar itu, keringat segede gini (keringat jagung)—mengumpamakan dengan jari—,” tutur mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) periode 1997-1999 saat ditemui Angkasa beberapa waktu lalu di kediamannya.
Pesawat militer ringan yang masih menggunakan baling-baling sebagai daya untuk melesat ke udara seperti OV-10 Bronco memang masih memiliki kekurangan pada saat itu. Pesawat jenis Counter Insurgency (COIN) atau anti gerilya ini tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tebang di atas 15.000 kaki karena belum dilengkapi dengan oksigen. Sehingga pesawat ini tidak mampu untuk menghindari cuaca buruk yang tiba-tiba menyergap saat sedang beraksi di angkasa.
OV-10 Bronco terjebak cuaca dan kesempatan untuk selamat dari kepungan awan ganas sangat kecil. Untuk mencapai langit bersih di ketinggian 30.000 kaki sangat tidak memungkinkan dan untuk terbang rendah pun tidak dapat juga dilakukan. Para pilot ditekan oleh situasi genting dan harus bisa memutar otak untuk bisa selamat dari cuaca buruk itu.
“Tembus enggak bisa pada ketinggian 10.000-15.000 kaki, turun juga enggak bisa melihat juga air. Enggak bisa melihat laut, enggak bisa melihat pantai,” tegas Koesbeni.
Pada saat itu, maskapai penerbangan perintis dari Merpati serta penerbangan lainnya mengingatkan Koesbeni dan Aryasa untuk tidak masuk ke Kupang, karena di sana pun sedang terjadi cuaca buruk. “Mas, enggak usah masuk ke Kupang, Kupang sangat buruk sekali, kita juga enggak bisa masuk,” ujar Koesbeni mengulangi peringatan maskapai-maskapai perintis terhadapnya pada saat itu.
Mendengar banyak pilot penerbangan perintis yang memperingatkan dan memberi masukan, akhirnya mereka menemukan jalan untuk bisa selamat dengan melakukan pendaratan di Maumere. Namun celaka, kedua kuda liar malah terpontang-panting pada ketinggian rendah.
“Mau ke sana (Maumere) enggak bisa, jadi setelah ujung Flores, kira-kira kalau di peta Ende lah (poin di ujung Flores itu) karena enggak kelihatan. Setelah lewati itu pesawatnya terbanting-banting pada ketinggian rendah. Ini bahaya ini,” tuturnya dengan serius.
Sontak saat itu Koesbeni teringat nasib kawan seperjuangannya yang hilang di laut karena terjebak cuaca buruk. Akhirnya ia berpikir harus mendaratkan kedua kuda liar yang tunggangi di bandara Ende, sekaligus untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Ia pun menyadari keistimewaan yang dimiliki Ende. Ia mengatakan, dalam cuaca buruk seperti apapun Ende masih dapat terlihat. Koesbeni menjelaskan, hal itu karena Ende merupakan celah yang berada di antara gunung, sehingga lokasinya bersih dari awan dapat dilihat dari ketinggian.
“Nah itu pinternya dulu Belanda bikin Ende. Jadi dia (Ende) itu di celah, di sini gunung, di sini gunung, nah bikin lorong ini. Nah di lorong itu kita coba cari Ende, ya untung-untungan ini. Ternyata benar terbuka, nah kita langsung mendarat di situ,” terang Koesbeni.
Walaupun berhasil mendarat di bandara Ende dengan selamat, namun masalah baru pun muncul. Bandara Ende memiliki landasan pacu yang pendek, sehingga OV-10 Bronco menghadapi sebuah tantangan untuk dapat kembali mencakar angkasa.
Untuk terbang dengan kondisi bahan bakar yang masih cukup banyak sangat tidak memungkinkan. Ketika pesawat telah mencapai ujung landasan, pesawat tidak akan mampu terbang karena bobot pesawat tidak memungkinkan untuk naik. Bahan bakar harus dikurangi untuk mendapatkan bobot ideal untuk bisa terbang pada landasan pacu yang pendek. Namun demikian, dengan membuang persediaan bahan bakar memungkinkan Bronco untuk jatuh sebelum mencapai tujuan akan terbuka lebar.
“Jadi kita harus hitung lagi panjang landasan dengan berapa bahan bakar yang harus kita bawa. Lainnya (bahan bakar) kita buang di situ, yang penting bisa sampai ke Kupang,” jelas sang mantan Asisten Operasi (Asops) era Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan ini.
Saat itu langit telah berubah menjadi gelap, menandakan hari telah berganti menjadi malam. Pada pukul tujuh malam, setelah menunggu cuaca normal selama kurang lebih 1-2 jam akhirnya langit memungkinkan untuk melakukan penerbangan ke Kupang. Penerbangan malam pun dilakukan walau hanya dibantu pencahayaan pinggir landasan dengan obor. Penerbangan hanya difokuskan untuk menuju ke Kupang sebagai lokasi terdekat, kemudian menuju ke Baucau pada hari berikutnya.
“Karena Kupang sudah membuka (awannya telah terurai), sudah membaik (cuaca), jaraknya pendek. Jadi bahan bakarnya kita hitung supaya cukup ke Kupang saja. Kalau ke Kupang tidak bisa mendarat misalnya, tiba-tiba cuaca jelek lagi, ya sudah ‘game’ kita,” kata Koesbeni sambil tertawa mengenang masa itu.
Ia mengungkapkan, bahwa penerbangan itu perhitungannya sangat untung-untungan. Jadi bahan bakar hanya dicukupkan untuk ke Kupang agar bisa melakukan airborne. Andai saja ketika terbang cuaca tiba-tiba buruk, Koesbeni berencana untuk melakukan bailout karena pasti akan kehabisan bahan bakar.
“Tapi umumnya tidak, kalau di pulau-pulau itu, kalau lautnya itu buruk, daratannya itu bagus. Kalau daratannya itu enggak bagus, lautnya bersih, patokannya seperti itu,” jelasnya.
Nampaknya dewi fortuna ikut terbang bersama mereka, sehingga cuaca buruk pun tak dijumpai dan berhasil mendarat di Kupang dengan selamat tanpa hambatan. Setelah bermalam di Kupang, pada pagi hari kedua kuda liar Bronco melanjutkan ferry menuju Baucau. Ia mengakui, bahwa itu merupakan salah satu dari dua pengalaman paling menegangkan ketika menerbangkan OV-10 Bronco. Pengalaman kedua adalah ketika melaksanakan Operasi Tumpas di Irian Barat.
“Makanya sekarang ini kan rata-rata pesawat tempur itu kan pesawat jet semua. Jet kan cepat dia naik ke atas, kalau sudah di atas 30.000 ft pasti bersih (dari awan buruk). Kalau pesawat-pesawat yang model kayak Mustang paling 10.000 ft, karena untuk insurgency atau pemberontakan dalam negeri,” pungkasnya.
Author: Fery Setiawan
Sebelum digelarnya pertempuran di Timor-Timur (sekarang Timor Leste) tahun 1976-1977 (Operasi Seroja), dua ‘Kuda Liar’ OV-10 Bronco dari Skadron 3 TNI Angkatan Udara yang masing-masing ditunggangi Marsekal Muda TNI (Purn) M. Koesbeni dan Marsekal Muda TNI (Purn) INT Aryasa—pada saat itu keduanya masih berpangkat Kapten—diterbangkan dari Malang menuju ke Baucau (Timor-Timur).
Rute yang dilalui kedua kuda liar ini adalah Malang menuju Denpasar untuk refuel, setelah itu menuju Kupang sebelum sampai ke Baucau. Namun seusai melakukan refuel di Denpasar, Koesbeni dan Aryasa ingin melakukan penerbangan split langsung menuju Baucau tanpa melewati Kupang.
Pada saat itu cuaca sedang berawan walau awan isolated—awan aktif yang belum menjadi satu atau bergumpal—. Namun pada saat itu Koesbeni dan Aryasa menganggap rintangan awan isolated itu dapat mereka hindari.
Penerbangan split pun dilakukan untuk langsung menuju Baucau. Setelah melewati Lombok dan masuk ke Sumbawa ternyata permasalahan tiba menghadang mereka. Dugaan mereka untuk bisa melewati awan isolated ternyata salah, karena awan itu telah berkumpul dan menutup pandangan dan jalan. Kuda liar dan penunggangnya dalam masalah besar dan ketegangan pun menghiasi penerbangan mereka karena berbagai kemungkinan fatal sangat mungkin terjadi.
“Kita sudah hampir melewati point no return, enggak bisa kembali lagi. Kalau balik juga terjebak, kalau terus (melanjutkan penerbangan) juga masuk ke cuaca (terjebak di awan bergumpal). Benar-benar itu, keringat segede gini (keringat jagung)—mengumpamakan dengan jari—,” tutur mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) periode 1997-1999 saat ditemui Angkasa beberapa waktu lalu di kediamannya.
Pesawat militer ringan yang masih menggunakan baling-baling sebagai daya untuk melesat ke udara seperti OV-10 Bronco memang masih memiliki kekurangan pada saat itu. Pesawat jenis Counter Insurgency (COIN) atau anti gerilya ini tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tebang di atas 15.000 kaki karena belum dilengkapi dengan oksigen. Sehingga pesawat ini tidak mampu untuk menghindari cuaca buruk yang tiba-tiba menyergap saat sedang beraksi di angkasa.
OV-10 Bronco terjebak cuaca dan kesempatan untuk selamat dari kepungan awan ganas sangat kecil. Untuk mencapai langit bersih di ketinggian 30.000 kaki sangat tidak memungkinkan dan untuk terbang rendah pun tidak dapat juga dilakukan. Para pilot ditekan oleh situasi genting dan harus bisa memutar otak untuk bisa selamat dari cuaca buruk itu.
“Tembus enggak bisa pada ketinggian 10.000-15.000 kaki, turun juga enggak bisa melihat juga air. Enggak bisa melihat laut, enggak bisa melihat pantai,” tegas Koesbeni.
Pada saat itu, maskapai penerbangan perintis dari Merpati serta penerbangan lainnya mengingatkan Koesbeni dan Aryasa untuk tidak masuk ke Kupang, karena di sana pun sedang terjadi cuaca buruk. “Mas, enggak usah masuk ke Kupang, Kupang sangat buruk sekali, kita juga enggak bisa masuk,” ujar Koesbeni mengulangi peringatan maskapai-maskapai perintis terhadapnya pada saat itu.
Mendengar banyak pilot penerbangan perintis yang memperingatkan dan memberi masukan, akhirnya mereka menemukan jalan untuk bisa selamat dengan melakukan pendaratan di Maumere. Namun celaka, kedua kuda liar malah terpontang-panting pada ketinggian rendah.
“Mau ke sana (Maumere) enggak bisa, jadi setelah ujung Flores, kira-kira kalau di peta Ende lah (poin di ujung Flores itu) karena enggak kelihatan. Setelah lewati itu pesawatnya terbanting-banting pada ketinggian rendah. Ini bahaya ini,” tuturnya dengan serius.
Sontak saat itu Koesbeni teringat nasib kawan seperjuangannya yang hilang di laut karena terjebak cuaca buruk. Akhirnya ia berpikir harus mendaratkan kedua kuda liar yang tunggangi di bandara Ende, sekaligus untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Ia pun menyadari keistimewaan yang dimiliki Ende. Ia mengatakan, dalam cuaca buruk seperti apapun Ende masih dapat terlihat. Koesbeni menjelaskan, hal itu karena Ende merupakan celah yang berada di antara gunung, sehingga lokasinya bersih dari awan dapat dilihat dari ketinggian.
“Nah itu pinternya dulu Belanda bikin Ende. Jadi dia (Ende) itu di celah, di sini gunung, di sini gunung, nah bikin lorong ini. Nah di lorong itu kita coba cari Ende, ya untung-untungan ini. Ternyata benar terbuka, nah kita langsung mendarat di situ,” terang Koesbeni.
Walaupun berhasil mendarat di bandara Ende dengan selamat, namun masalah baru pun muncul. Bandara Ende memiliki landasan pacu yang pendek, sehingga OV-10 Bronco menghadapi sebuah tantangan untuk dapat kembali mencakar angkasa.
Untuk terbang dengan kondisi bahan bakar yang masih cukup banyak sangat tidak memungkinkan. Ketika pesawat telah mencapai ujung landasan, pesawat tidak akan mampu terbang karena bobot pesawat tidak memungkinkan untuk naik. Bahan bakar harus dikurangi untuk mendapatkan bobot ideal untuk bisa terbang pada landasan pacu yang pendek. Namun demikian, dengan membuang persediaan bahan bakar memungkinkan Bronco untuk jatuh sebelum mencapai tujuan akan terbuka lebar.
“Jadi kita harus hitung lagi panjang landasan dengan berapa bahan bakar yang harus kita bawa. Lainnya (bahan bakar) kita buang di situ, yang penting bisa sampai ke Kupang,” jelas sang mantan Asisten Operasi (Asops) era Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan ini.
Saat itu langit telah berubah menjadi gelap, menandakan hari telah berganti menjadi malam. Pada pukul tujuh malam, setelah menunggu cuaca normal selama kurang lebih 1-2 jam akhirnya langit memungkinkan untuk melakukan penerbangan ke Kupang. Penerbangan malam pun dilakukan walau hanya dibantu pencahayaan pinggir landasan dengan obor. Penerbangan hanya difokuskan untuk menuju ke Kupang sebagai lokasi terdekat, kemudian menuju ke Baucau pada hari berikutnya.
“Karena Kupang sudah membuka (awannya telah terurai), sudah membaik (cuaca), jaraknya pendek. Jadi bahan bakarnya kita hitung supaya cukup ke Kupang saja. Kalau ke Kupang tidak bisa mendarat misalnya, tiba-tiba cuaca jelek lagi, ya sudah ‘game’ kita,” kata Koesbeni sambil tertawa mengenang masa itu.
Ia mengungkapkan, bahwa penerbangan itu perhitungannya sangat untung-untungan. Jadi bahan bakar hanya dicukupkan untuk ke Kupang agar bisa melakukan airborne. Andai saja ketika terbang cuaca tiba-tiba buruk, Koesbeni berencana untuk melakukan bailout karena pasti akan kehabisan bahan bakar.
“Tapi umumnya tidak, kalau di pulau-pulau itu, kalau lautnya itu buruk, daratannya itu bagus. Kalau daratannya itu enggak bagus, lautnya bersih, patokannya seperti itu,” jelasnya.
Nampaknya dewi fortuna ikut terbang bersama mereka, sehingga cuaca buruk pun tak dijumpai dan berhasil mendarat di Kupang dengan selamat tanpa hambatan. Setelah bermalam di Kupang, pada pagi hari kedua kuda liar Bronco melanjutkan ferry menuju Baucau. Ia mengakui, bahwa itu merupakan salah satu dari dua pengalaman paling menegangkan ketika menerbangkan OV-10 Bronco. Pengalaman kedua adalah ketika melaksanakan Operasi Tumpas di Irian Barat.
“Makanya sekarang ini kan rata-rata pesawat tempur itu kan pesawat jet semua. Jet kan cepat dia naik ke atas, kalau sudah di atas 30.000 ft pasti bersih (dari awan buruk). Kalau pesawat-pesawat yang model kayak Mustang paling 10.000 ft, karena untuk insurgency atau pemberontakan dalam negeri,” pungkasnya.
Author: Fery Setiawan
sumber : https://garudamiliter.blogspot.com/
0 Response to "✈ Kisah Disergap Cuaca Buruk"
Post a Comment