Kapolri Jelaskan Kronologi Penyanderaan Rutan Mako Brimob yang sebenarnya tidak layak dijadikan tempat penahanan teroris dihuni 156 napiter. Padahal, kapasitas maksimal rutan itu hanya 90 narapidana.(REUTERS/Darren Whiteside) ☠
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendatangi Mako Brimob, Depok, Kamis (10/5) petang. Tita baru tiba dari Yordania dan langsung menyambangi lokasi kerusuhan berujung penyanderaan di Mako Brimob.
Tito menjelaskan kronologi dan duduk perkara penyanderaan yang terjadi di Mako Brimob. Tito memaparkan informasi dengan menambah detail dari yang telah disampaikan Polri.
Tito menjelaskan, pada Rutan Blok C Mako Brimob di mana tempat kerusuhan bermula, terdapat ruang pemberkasan yang dijaga anggota Polri. Ruang pemberkasan digunakan untuk menyiapkan arsip sebelum napiter menjalani persidangan.
Anggota Polri yang berjaga pada ruangan itu menjadi sasaran dan sandera napiter.
Berada di Yordania kala itu, Tito memberikan instruksi pada anak buahnya untuk mengepung Mako Brimob. Ia juga mendapat pesan dari Presiden Joko Widodo untuk tegas menindak teroris.
Kepolisian memiliki dua opsi untuk mengatasi napiter yang 'membajak' Rutan Mako Brimob. Opsi pertama adalah langsung masuk menyerbu dan opsi kedua memberikan peringatan dengan batas waktu sampai Kamis (10/5) pagi.
Opsi kedua dipilih lantaran tak semua napiter setuju dengan kerusuhan dan penyanderaan anggota Polri. Alasan lain adalah untuk mencegah korban jiwa.
Tito sendiri kemudian menginstruksikan 800 sampai 1000 personel kepolisian untuk mengepung Rutan Mako Brimob sebagai peringatan kepada narapidana teroris.
Tito mengatakan Rutan Mako Brimob tidak layak sebagai rumah tahanan teroris dan tidak berstandar maximum security. Rutan Mako Brimob juga disebut Tito over kapasitas dengan dihuni 156 napiter, padahal kapasitas maksimal rutan itu hanya 90 narapidana.
"Ini dulunya rumah tahanan buat anggota Polri dan penegak hukum lain," Kata Tito di Mako Brimob.
Rutan Mako Brimob, kata Tito, dijadikan rumah tahanan teroris karena tidak ada tempat lain. Rumah tahanan dinilai aman lantaran berada di dalam kawasan Mako Brimob.
"Jadi (narapidana) tidak bisa kemana-mana, tapi di dalam tidak layak dan bukan di desain untuk teroris," kata Tirto.
Kerusuhan berujung penyanderaan di Mako Brimob berakhir tanpa negosiasi. Usai 36 jam upaya penanggulangan, 155 napi teroris menyerah tanpa syarat.
Bentrokan Mako Brimob menewaskan lima anggota polisi dan satu narapidana terorisme.
Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia tak memberi tempat untuk terorisme dan upaya-upaya yang mengganggu kemanan negara.
"Perlu saya tegaskan, negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan tidak pernah memberi ruang kepada terorisme, kepada upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara," ujar Jokowi di Istana Bogor.
Alasan Polisi Tak Langsung Serbu Mako Brimob
Anggota kepolisian melakukan pengamanan Mako Brimob Kelapa Dua usai kerusuhan napi teroris. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Kapolri Tito Karnavian menjelaskan alasan insiden penyanderaan di Mako Brimob berlangsung hingga 36 jam adalah karena polisi mengambil opsi untuk beri peringatan terlebih dahulu.
Peringatan diberikan mempertimbangkan kelompok pro dan kontra di dalam tahanan.
"Opsi kami langsung masuk (menyerbu), atau opsi memberikan warning. Karena kami tahu dari 155 (narapidana terorisme di Mako Brimob) ada pro-kontra. Ada yang ingin mendukung kekerasan sekelompok lainnya, ada yang tidak ingin," kata Tito dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kamis (10/5) sore.
"Sehingga saya sampaikan pada bapak Presiden (Joko Widodo), ada situasi seperti itu. Kami berikan warning. Saya minta izin."
"Saya paham, tindakan tegas harus dilakukan, namun di dalam ada pro dan kontra, maka kami berikan warning."
Tito menyatakan Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan polisi mengambil tindakan tegas, seandainya tidak ada opsi lain.
"Sepanjang malam warning sudah disampaikan. Alhamdulillah, satu sandera brigadir Iwan Sarjana, jam 12 malam dilepas oleh mereka. Dan besok paginya mereka keluar menyerahkan diri."
Insiden rusuh di Mako Brimob sendiri telah berakhir pada Kamis ini pukul 07.15 WIB, sejak dimulai pada Selasa (8/5) malam pukul 22.00 WIB.
Total 156 napi terlibat dalam insiden penyanderaan tersebut dengan menguasai tiga dari enam blok yang ada di Mako Brimob. Tiga blok yang dikuasai tahanan teroris itu antara lain Blok A, B, dan C.
Enam orang meninggal pada insiden kericuhan, yaitu lima aparat kepolisian dan satu lainnya adalah tahanan yang melawan petugas.
Dari 155 narapidana, 145 dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sementara 10 ditahan untuk kepentingan penyelidikan. (vws)
Meninggalkan Tanda Tanya
Setelah berlangsung 36 jam, insiden ricuh di Mako Brimob berakhir pada Kamis pagi ini pukul 07.15 WIB setelah polisi mengultimatum akan menyerbu ke dalam. (REUTERS/Darren Whiteside)
Drama kerusuhan dan penyanderaan selama 36 jam yang terjadi di rumah tahanan Markas Korps Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat masih meninggalkan tanda tanya di akhir perjalanan ceritanya.
Pengamat terorisme, Harits Abu Ulya, menilai drama itu bahkan berakhir dengan ketidaksinkronan pernyataan antara Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto dan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komisaris Jenderal Syafruddin.
"Jika memperhatikan dengan seksama paparan mereka (Wiranto dan Syafruddin), ada kesan ketidaksinkronan dan masih banyak hal yang tidak terungkap tuntas oleh awak media," kata Harits dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (10/5).
Menurutnya, beberapa hal yang tidak sinkron dan meninggalkan tanda tanya itu antara lain terkait kronologi sejumlah narapidana kasus terorisme bisa menguasai senjata api, senjata tajam, dan bom. Harits pun mempertanyakan pendekatan dengan istilah 'soft approach' yang dilakukan polisi hingga akhirnya narapidana teroris melepaskan sandera dan memilih menyerah.
Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu juga mengaku belum memahami seputar penyebab pecahnya kerusuhan yang berujung tersanderanya sejumlah personel kepolisian.
"Apakah benar hanya soal sepele makanan pada hari itu yang memicu terjadinya insiden tersebut?" ujar dia.
Harits menduga, aparat kepolisian telah menggunakan mantan terpidana sekaligus terdakwa sejumlah kasus terorisme, Aman Abdurrahman, untuk menjembatani pembicaraan dengan narapidana teroris.
Dia berpendapat, polisi melakukan pendekatan kepada Aman terlebih dahulu agar bersedia membantu menyelesaikan insiden yang pecah sejak Selasa (8/5) malam.
Harits menuturkan, dugaan ini bukan tanpa dasar. Dia mengatakan, selain merupakan salah satu penghuni ruang tahanan di Mako Brimob, Aman merupakan sosok yang dipatuhi dan didengar nasihatnya.
"Aman posisinya dipatuhi dan didengar pendapatnya. Dalam insiden ini, bisa jadi Aman tidak sependapat dan tidak mendukung aksi narapidana teroris yang latar belakang aksinya adalah urusan perut atau hal tidak penting," tuturnya.
Secara terpisah, pengamat terorisme Zaki Mubarak menilai polisi tidak membeberkan secara jujur seputar insiden kerusuhan dan penyanderaan yang terjadi di rumah tahanan Mako Brimob, seperti terkait faktor pemicu.
Dia menilai faktor pemicu kerusuhan dan penyanderaan adalah masalah ideologi, bukan persoalan makanan salah satu narapidana yang ditahan petugas.
Zaki menerangkan ideologi yang dimaksud adalah pandangan bahwa polisi adalah kaum thaghut alias tersesat.
"Saya tidak yakin faktor pemicunya lebih dari itu dan lebih ideologi. Mereka anggap polisi thaghut, artinya mereka merasa dipermalukan dan dihina dengan ditahan di markas para thaghut. Mereka tidak terima dengan kondisi seperti itu," tuturnya kepada CNNIndonesia.com.
Selain itu, dia berpendapat, narapidana teroris telah merencanakan aksi kerusuhan dan penyanderaan ini sejak lama. Dia pun menduga, aksi ini terkait jelang sidang pembacaan tuntutan terhadap Aman sebagai terpidana sejumlah kasus terorisme yang diagendakan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (11/5).
"Menurut pandangan saya, aksi itu sudah terencana jauh di belakang. Bukan soal makanan, kalau itu selalu rutin ada persoalan setiap bulan. Mungkin (karena) besok Aman dituntut oleh jaksa," ujar dia.
Salah satu napi teroris keluar menyerahkan diri di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, 10 Mei 2018. (Dok. Divisi Humas Polri)
Serupa Harits, Zaki pun menduga petugas kepolisian telah mengikutsertakan Aman dalam mengakhiri insiden kerusuhan dan penyanderaan di rutan Mako Brimob.
Menurutnya, peran Aman sebagai figur yang berpengaruh dinilai polisi penting untuk menjembatani komunikasi dengan narapidana teroris.
"Itu bagian dari negosiasasi yang polisi tidak mengungkapkannya. Dugaan saya, ada komunikasi dengan Aman terkait perundingan yang berlangsung hingga akhirnya pindah ke Nusakambangan," tuturnya.
Berangkat dari itu, Zaki menilai polisi mengalami banyak kekalahan dalam insiden kerusuhan dan penyanderaan di rumah tahanan Mako Brimob. Menurutnya, narapidana teroris sukses muwujudkan keinginannya, seperti mendapatkan ekspose dunia internasional hingga sebanyak 145 orang dipindahkan dari Mako Brimob ke Pulau Nusakambangan.
"Apa yang jadi target itu mereka dapatkan. Seperti ekspose internasional, mereka ingin aksinya diliput media internasional sehingga dengan cepat hanya selang beberapa jam naik di seluruh media dunia bahwa mereka mampu jihad di markas polisi," tuturnya.
Tindakan Tepat Polisi
Terkait operasi penanggulangan aksi kerusuhan napi teroris di Mako Brimob, Zaki menilai pola penanganan yang diambil polisi sudah tepat. Menurutnya, polisi tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan insiden ini secara ideal. Langkah yang dapat diambil polisi, katanya, hanya melakukan negosiasi demi mengantisipasi agar jumlah korban tewas tidak bertambah.
"Ini penanggulangan jangka pendek. Artinya, bagaimana mencari solusi untuk menghindari korban yang lebih banyak, karena terus terang dalam kasus penyanderaan ini posisi kepolisian lemah," tutur dia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang mendatangi Mako Brimob setibanya di Jakarta dari Yordania menjelaskan kronologi, serta upaya penanggulangan yang akhirnya membuat aksi napi teroris berhenti setelah 36 jam.
"Opsi kami langsung masuk (menyerbu), atau opsi memberikan warning. Karena kami tahu dari 155 (narapidana terorisme di Mako Brimob) ada pro-kontra. Ada yang ingin mendukung kekerasan sekelompok lainnya, ada yang tidak ingin," kata Tito dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kamis (10/5) malam.
Tito mengaku saat itu dirinya yang masih berada di Yordania pun melaporkan opsi-opsi tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo. Tito menyatakan Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan polisi mengambil tindakan tegas, seandainya tidak ada opsi lain.
"Sepanjang malam warning sudah disampaikan. Alhamdulillah, satu sandera brigadir Iwan Sarjana, jam 12 malam dilepas oleh mereka. Dan besok paginya mereka keluar menyerahkan diri," ujar Tito yang baru tiba di Jakarta pada Kamis (10/5) petang. (kid)
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendatangi Mako Brimob, Depok, Kamis (10/5) petang. Tita baru tiba dari Yordania dan langsung menyambangi lokasi kerusuhan berujung penyanderaan di Mako Brimob.
Tito menjelaskan kronologi dan duduk perkara penyanderaan yang terjadi di Mako Brimob. Tito memaparkan informasi dengan menambah detail dari yang telah disampaikan Polri.
Tito menjelaskan, pada Rutan Blok C Mako Brimob di mana tempat kerusuhan bermula, terdapat ruang pemberkasan yang dijaga anggota Polri. Ruang pemberkasan digunakan untuk menyiapkan arsip sebelum napiter menjalani persidangan.
Anggota Polri yang berjaga pada ruangan itu menjadi sasaran dan sandera napiter.
Berada di Yordania kala itu, Tito memberikan instruksi pada anak buahnya untuk mengepung Mako Brimob. Ia juga mendapat pesan dari Presiden Joko Widodo untuk tegas menindak teroris.
Kepolisian memiliki dua opsi untuk mengatasi napiter yang 'membajak' Rutan Mako Brimob. Opsi pertama adalah langsung masuk menyerbu dan opsi kedua memberikan peringatan dengan batas waktu sampai Kamis (10/5) pagi.
Opsi kedua dipilih lantaran tak semua napiter setuju dengan kerusuhan dan penyanderaan anggota Polri. Alasan lain adalah untuk mencegah korban jiwa.
Tito sendiri kemudian menginstruksikan 800 sampai 1000 personel kepolisian untuk mengepung Rutan Mako Brimob sebagai peringatan kepada narapidana teroris.
Tito mengatakan Rutan Mako Brimob tidak layak sebagai rumah tahanan teroris dan tidak berstandar maximum security. Rutan Mako Brimob juga disebut Tito over kapasitas dengan dihuni 156 napiter, padahal kapasitas maksimal rutan itu hanya 90 narapidana.
"Ini dulunya rumah tahanan buat anggota Polri dan penegak hukum lain," Kata Tito di Mako Brimob.
Rutan Mako Brimob, kata Tito, dijadikan rumah tahanan teroris karena tidak ada tempat lain. Rumah tahanan dinilai aman lantaran berada di dalam kawasan Mako Brimob.
"Jadi (narapidana) tidak bisa kemana-mana, tapi di dalam tidak layak dan bukan di desain untuk teroris," kata Tirto.
Kerusuhan berujung penyanderaan di Mako Brimob berakhir tanpa negosiasi. Usai 36 jam upaya penanggulangan, 155 napi teroris menyerah tanpa syarat.
Bentrokan Mako Brimob menewaskan lima anggota polisi dan satu narapidana terorisme.
Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia tak memberi tempat untuk terorisme dan upaya-upaya yang mengganggu kemanan negara.
"Perlu saya tegaskan, negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan tidak pernah memberi ruang kepada terorisme, kepada upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara," ujar Jokowi di Istana Bogor.
Alasan Polisi Tak Langsung Serbu Mako Brimob
Anggota kepolisian melakukan pengamanan Mako Brimob Kelapa Dua usai kerusuhan napi teroris. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Kapolri Tito Karnavian menjelaskan alasan insiden penyanderaan di Mako Brimob berlangsung hingga 36 jam adalah karena polisi mengambil opsi untuk beri peringatan terlebih dahulu.
Peringatan diberikan mempertimbangkan kelompok pro dan kontra di dalam tahanan.
"Opsi kami langsung masuk (menyerbu), atau opsi memberikan warning. Karena kami tahu dari 155 (narapidana terorisme di Mako Brimob) ada pro-kontra. Ada yang ingin mendukung kekerasan sekelompok lainnya, ada yang tidak ingin," kata Tito dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kamis (10/5) sore.
"Sehingga saya sampaikan pada bapak Presiden (Joko Widodo), ada situasi seperti itu. Kami berikan warning. Saya minta izin."
"Saya paham, tindakan tegas harus dilakukan, namun di dalam ada pro dan kontra, maka kami berikan warning."
Tito menyatakan Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan polisi mengambil tindakan tegas, seandainya tidak ada opsi lain.
"Sepanjang malam warning sudah disampaikan. Alhamdulillah, satu sandera brigadir Iwan Sarjana, jam 12 malam dilepas oleh mereka. Dan besok paginya mereka keluar menyerahkan diri."
Insiden rusuh di Mako Brimob sendiri telah berakhir pada Kamis ini pukul 07.15 WIB, sejak dimulai pada Selasa (8/5) malam pukul 22.00 WIB.
Total 156 napi terlibat dalam insiden penyanderaan tersebut dengan menguasai tiga dari enam blok yang ada di Mako Brimob. Tiga blok yang dikuasai tahanan teroris itu antara lain Blok A, B, dan C.
Enam orang meninggal pada insiden kericuhan, yaitu lima aparat kepolisian dan satu lainnya adalah tahanan yang melawan petugas.
Dari 155 narapidana, 145 dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sementara 10 ditahan untuk kepentingan penyelidikan. (vws)
Meninggalkan Tanda Tanya
Setelah berlangsung 36 jam, insiden ricuh di Mako Brimob berakhir pada Kamis pagi ini pukul 07.15 WIB setelah polisi mengultimatum akan menyerbu ke dalam. (REUTERS/Darren Whiteside)
Drama kerusuhan dan penyanderaan selama 36 jam yang terjadi di rumah tahanan Markas Korps Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat masih meninggalkan tanda tanya di akhir perjalanan ceritanya.
Pengamat terorisme, Harits Abu Ulya, menilai drama itu bahkan berakhir dengan ketidaksinkronan pernyataan antara Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto dan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komisaris Jenderal Syafruddin.
"Jika memperhatikan dengan seksama paparan mereka (Wiranto dan Syafruddin), ada kesan ketidaksinkronan dan masih banyak hal yang tidak terungkap tuntas oleh awak media," kata Harits dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (10/5).
Menurutnya, beberapa hal yang tidak sinkron dan meninggalkan tanda tanya itu antara lain terkait kronologi sejumlah narapidana kasus terorisme bisa menguasai senjata api, senjata tajam, dan bom. Harits pun mempertanyakan pendekatan dengan istilah 'soft approach' yang dilakukan polisi hingga akhirnya narapidana teroris melepaskan sandera dan memilih menyerah.
Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu juga mengaku belum memahami seputar penyebab pecahnya kerusuhan yang berujung tersanderanya sejumlah personel kepolisian.
"Apakah benar hanya soal sepele makanan pada hari itu yang memicu terjadinya insiden tersebut?" ujar dia.
Harits menduga, aparat kepolisian telah menggunakan mantan terpidana sekaligus terdakwa sejumlah kasus terorisme, Aman Abdurrahman, untuk menjembatani pembicaraan dengan narapidana teroris.
Dia berpendapat, polisi melakukan pendekatan kepada Aman terlebih dahulu agar bersedia membantu menyelesaikan insiden yang pecah sejak Selasa (8/5) malam.
Harits menuturkan, dugaan ini bukan tanpa dasar. Dia mengatakan, selain merupakan salah satu penghuni ruang tahanan di Mako Brimob, Aman merupakan sosok yang dipatuhi dan didengar nasihatnya.
"Aman posisinya dipatuhi dan didengar pendapatnya. Dalam insiden ini, bisa jadi Aman tidak sependapat dan tidak mendukung aksi narapidana teroris yang latar belakang aksinya adalah urusan perut atau hal tidak penting," tuturnya.
Secara terpisah, pengamat terorisme Zaki Mubarak menilai polisi tidak membeberkan secara jujur seputar insiden kerusuhan dan penyanderaan yang terjadi di rumah tahanan Mako Brimob, seperti terkait faktor pemicu.
Dia menilai faktor pemicu kerusuhan dan penyanderaan adalah masalah ideologi, bukan persoalan makanan salah satu narapidana yang ditahan petugas.
Zaki menerangkan ideologi yang dimaksud adalah pandangan bahwa polisi adalah kaum thaghut alias tersesat.
"Saya tidak yakin faktor pemicunya lebih dari itu dan lebih ideologi. Mereka anggap polisi thaghut, artinya mereka merasa dipermalukan dan dihina dengan ditahan di markas para thaghut. Mereka tidak terima dengan kondisi seperti itu," tuturnya kepada CNNIndonesia.com.
Selain itu, dia berpendapat, narapidana teroris telah merencanakan aksi kerusuhan dan penyanderaan ini sejak lama. Dia pun menduga, aksi ini terkait jelang sidang pembacaan tuntutan terhadap Aman sebagai terpidana sejumlah kasus terorisme yang diagendakan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (11/5).
"Menurut pandangan saya, aksi itu sudah terencana jauh di belakang. Bukan soal makanan, kalau itu selalu rutin ada persoalan setiap bulan. Mungkin (karena) besok Aman dituntut oleh jaksa," ujar dia.
Salah satu napi teroris keluar menyerahkan diri di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, 10 Mei 2018. (Dok. Divisi Humas Polri)
Serupa Harits, Zaki pun menduga petugas kepolisian telah mengikutsertakan Aman dalam mengakhiri insiden kerusuhan dan penyanderaan di rutan Mako Brimob.
Menurutnya, peran Aman sebagai figur yang berpengaruh dinilai polisi penting untuk menjembatani komunikasi dengan narapidana teroris.
"Itu bagian dari negosiasasi yang polisi tidak mengungkapkannya. Dugaan saya, ada komunikasi dengan Aman terkait perundingan yang berlangsung hingga akhirnya pindah ke Nusakambangan," tuturnya.
Berangkat dari itu, Zaki menilai polisi mengalami banyak kekalahan dalam insiden kerusuhan dan penyanderaan di rumah tahanan Mako Brimob. Menurutnya, narapidana teroris sukses muwujudkan keinginannya, seperti mendapatkan ekspose dunia internasional hingga sebanyak 145 orang dipindahkan dari Mako Brimob ke Pulau Nusakambangan.
"Apa yang jadi target itu mereka dapatkan. Seperti ekspose internasional, mereka ingin aksinya diliput media internasional sehingga dengan cepat hanya selang beberapa jam naik di seluruh media dunia bahwa mereka mampu jihad di markas polisi," tuturnya.
Tindakan Tepat Polisi
Terkait operasi penanggulangan aksi kerusuhan napi teroris di Mako Brimob, Zaki menilai pola penanganan yang diambil polisi sudah tepat. Menurutnya, polisi tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan insiden ini secara ideal. Langkah yang dapat diambil polisi, katanya, hanya melakukan negosiasi demi mengantisipasi agar jumlah korban tewas tidak bertambah.
"Ini penanggulangan jangka pendek. Artinya, bagaimana mencari solusi untuk menghindari korban yang lebih banyak, karena terus terang dalam kasus penyanderaan ini posisi kepolisian lemah," tutur dia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang mendatangi Mako Brimob setibanya di Jakarta dari Yordania menjelaskan kronologi, serta upaya penanggulangan yang akhirnya membuat aksi napi teroris berhenti setelah 36 jam.
"Opsi kami langsung masuk (menyerbu), atau opsi memberikan warning. Karena kami tahu dari 155 (narapidana terorisme di Mako Brimob) ada pro-kontra. Ada yang ingin mendukung kekerasan sekelompok lainnya, ada yang tidak ingin," kata Tito dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kamis (10/5) malam.
Tito mengaku saat itu dirinya yang masih berada di Yordania pun melaporkan opsi-opsi tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo. Tito menyatakan Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan polisi mengambil tindakan tegas, seandainya tidak ada opsi lain.
"Sepanjang malam warning sudah disampaikan. Alhamdulillah, satu sandera brigadir Iwan Sarjana, jam 12 malam dilepas oleh mereka. Dan besok paginya mereka keluar menyerahkan diri," ujar Tito yang baru tiba di Jakarta pada Kamis (10/5) petang. (kid)
☠ CNN
sumber : https://garudamiliter.blogspot.com/
0 Response to "Akhir Drama 36 Jam Mako Brimob"
Post a Comment