Kalau dirasa tiada di sana, hal-hal yang datang dari para 'ulama kadang dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan. Dan sayang, ini sering berpadu dengan ungkapan galak melebihi penagih utang.
illustrasi |
Padahal tangga menuju Quran & Sunnah adalah penjelasan para 'ulama, adalah pemahaman salafush shalih. Maka mari hidupkan haus tak bertepi pada ilmu Allah yang seandainya tujuh samudera jadi tinta, takkan habis ia ditulis dengan seluruh pohon yang jadi pena.
Kita harus mengerti, bahwa walaupun Allah 'Azza wa Jalla menurunkan KalamNya dalam Bahasa 'Arab, tapi jika tiada Rasulullah ﷺ, bahkan orang 'Arab yang paling fasihpun dapat keliru memahami maknanya.
Ady ibn Hatim, pemimpin suku Thay yang juga sastrawan terkemuka itu mendengar ayatNya yang agung, "..Maka makan dan minumlah kalian (di malam Ramadhan itu) hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam.." (QS Al Baqarah [2]: 187)
Maka disandingnya hidangan di sisi peraduan sembari meletakkan igal pengikat unta yang berwarna putih dan hitam di bawah bantalnya. Tiap usai mengudap dia intip igal di bawah tampir, dan ternyata tak terjadi apa-apa. Begitu terus sampai mentari terbit nyata.
Maka menghadaplah ia pada Sang Nabi ﷺ untuk melaporkan, "Sudah kuperhatikan benang-benang itu tiap usai makan Ya Rasulallah; tapi sungguh tak terjadi apapun."
Sang Nabi ﷺ tertawa dan bersabda, "Besar sekali rupanya bantalmu hai Ady. Panjang sekali malammu jadinya. Bukan demikian, tapi begitu terbit fajar shadiq hendaklah kau hentikan makanmu dan mulailah puasamu."
Kita harus mengerti bahwa, Guru yang lebih mula lagi dekat dengan sumber ilmu amat patut untuk disimak meski kitapun amat mengerti teks syari'atnya.
Adalah 'Urwah ibn Zubair ibn Al 'Awwam; seorang 'Alim yang agung, putra dari sahabat dan sahabiyah agung, adik dari sahabat agung, serta cucu dari Ash Shiddiq sahabat teragung.
Pada suatu hari dari balik tirai, dia menyimpulkan di hadapan bibinya, "Allah nyatakan, '..Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, tiada dosa baginya untuk bersa'i pada Shafa dan Marwah' (QS Al Baqarah [2]: 158); jika mengerjakannya tiada dosa, bukankah meninggalkannya lebih baik daripada itu; setidaknya ia tiada mengapa pula?"
Sang Bibi, Ibunda kita 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha menegur, "Duhai anak ini.. Demi Allah bukan demikian wahai putra saudariku. Akan tetapi dahulu di masa jahiliah orang-orang Yatsrib bersa'i antara Shafa dan Marwah untuk mengagungkan berhala Manat yang ditegakkan di antara keduanya dan terdapat pula di sana pohon untuk menggantungkan doa-doa mereka. Ketika dalam 'Umratul Qadha' ia dikukuhkan sebagai bagian manasik, maka para sahabat Anshar merasa berat dan enggan. Hingga Allah menurunkan firmanNya, 'Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk di antara syi'ar-syi'ar Allah.."
Kitapun harus mengerti bahwa walau seseorang telah mencapai kedudukan sebagai 'Alim yang paling faqih sejagat; bahkan Allah akan memberinya ilmu dari mereka-mereka yang tampak lebih rendah lahiriahnya.
Adalah Al Faruq 'Umar ibn Al Khaththab suatu hari membaca Surat 'Abasa sampai ke ayat, "Wa fakihataw wa abbaa..", lalu tetiba pucat pasi wajahnya. "Ya Allah, kami tahu apa itu fakihah; ialah tsamaraat, buah-buahan. Tetapi apa itu Abba? Ya Rabb, kami tak tahu makna Abba.."
Maka berdirilah seorang badui penggembala dan berkata, "Ya Amiral Mukminin, kamilah yang tahu makna Abba.. Ketika hujan turun di padang gembalaan seputar gurun, maka genangan-genangan kecil di tanah, di celah batu, dan di pasir lembut lalu dengan cepat ditumbuhi rerumputan yang kami bahkan tak tahu dari mana datang bebenihannya. Itulah Abba, rumput-rumput anugrah Allah."
Maka 'Umar Radhiyallahu 'Anhu bertakbir dan bersujud syukur.
Mari selalu hidupkan haus tak bertepi pada ilmu Allah yang seandainya tujuh samudera jadi tinta, takkan habis ia ditulis dengan seluruh pohon yang jadi pena.
Source: Fanpage Salim A. Fillah
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
0 Response to "Haus Tak Bertepi Pada Ilmu Allah"
Post a Comment