Tak gerak. Tak ada suara. Hanya sesekali telapak tangannya mengarah ke punggung dan berusaha menekan-nekannya dengan sisa-sisa tenaga yang ada.
Pikirku, mungkin pijatanku kurang tepat sasaran. Maka, kupindahkan 'area' pijatan ke lokasi yang diisyaratkan bapak. Seketika, tangan beliaupun kembali ke posisi semula. Aku pun kembali fokus memijat.
illustrasi |
Mulai hari Senen lalu, bapak harus menginap di RSU Tuban. Pihak Puskesmas, 'pelabuhan' pertama tempat memeriksakan penyakit bapak, angkat tangan, karena memang sudah terlalu parah, kemudian merujuknya ke RSU Tuban.
Di RSU ini, bapak di tempatkan di ruang ASOKA. Ada sepuluh pasien di kamar yang dikhususkan bagi penderita penyakit dalam itu.
Ranjang bapak ada di sebelah Utara yang berdekatan dengan pintu akses keluar. Pas di sebelah kirinya, ada seorang pasien yang sudah cukup renta. Dari postur tubuh dan guratan dahinya, nampak usia di atas 70 tahunan lebih.
Nampak ia tengah mengidap penyakit yang cukup parah. Boleh jadi jauh lebih parah dari bapak. Itu bisa dilihat, ada sebuah selang yang dipasang oleh para perawat untuk jalur pembuangan kotoran.
Di ujung selang yang lain, ada sebuah plasti khusus yang tergantung di kaki ranjang, yang diperuntukkan sebagai tempat pembuangannya. Nampak plastik bercorak bening itu, terisi dengan cairan berwarna merah.
"Bapak, kalau lagi BAB, memang keluar darah," ujar seorang sanak keluarga, ketika kakak ipar, yang ikut menjaga bapak, mencoba menyelidiki penyakit yang tengah menimpa si pasien renta itu.
Nah, ketika tengah khusyu' memijat bapak itulah, spontanitas suasana ruang berkisar luas 6x12 meter persegi dibuat panik.
Seorang wanita berkerudung merah yang tengah bertugas menjaga si pasien renta itu, berteriak, memanggil sanak keluarganya yang berada di luar ruangan, yang tengah menikmati santap malam. Kejadian itu, pas setelah sholat Maghrib (20-08-2016).
"Mas...! Mas...!, bapak, mas," pekiknya sambil terisak.
Saya yang duduk dengan posisi membelakanginya, mencoba membalikkan badan. Kudapati jari-jemarinya ia letakkan di bagian leher sang bapak dengan deraian air mata.
Belum sempat kuberucap sepatah kata untuk bertanya apa yang terjadi, saudara laki-lakinya sudah keburu ada di samping dengan wajah pucat dan tegang.
"Bapak, sudah gak ada, mas! Gak ada denyut nadinya lagi," lirihnya.
"Coba saya periksa," ucap sang mas.
Laki-laki yang berkaos merah itu pun mulai meletakkan jari-jarinya di leher sang bapak. Berkali-kali juga ia coba buka pelopak matanya. Tidak ada respons.
"Innaa lillah. Bapak memang sudah tiada," ucapnya dengan nada berusaha tegar.
Hiikkkk.....hikkk...hikkk....
Suara tangispun semakin menggelegar. Dengan bersipu di ranjang si bapak, wanita berkerudung itu mencucurkan air mata.
Suasana ruangan menjadi haru. Sunyi. Tak ada yang bersuara. Semua hanyut dalam perasaan dan pikiran masing-masing, termasuk saya pribadi.
"Sudah, jangan ditangisi. Ikhlaskan bapak. Mau bagaimana lagi, kalau jatah hidupnya memang sudah habis, hanya sampai di sini," hibur si mas kepada sang adik, yang kini mulai bisa menguasai diri.
******
Dalam renunganku, kalimat terakhir itulah yang paling menggugah; bahwa kita hidup di dunia ini punya batas waktu. Ketika batas waktu itu telah tiba, maka semua urusan keduniawian ini berakhir spontanitas. Tinggallah menghadapi urusan kehidupan selanjutnya; alam kubur, padang Masyar, hari pertimbangan, dan seterusnya.
Kesadaran kita akan kehidupan pasca kehidupan di dunia ini, sangat berpeluang besar menyelamatkan kita di kehidupan selanjutnya. Lalai, kecelakaan akan menaungi kita.
Dan ciri dari orang sadar/faham, dia akan beraksi untuk mempersiapkan diri menghadapi hari itu dengan bekal-bekal kebaikan. Seperti yang dikisahkan oleh Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berikut ini
“Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah)
Sejalan dengan tutiran sang anak, si bapak, Umar bin khathab pun pernah berkata, "Haasibu anfusakum qabla an tuhaasabu" (Evaluasilah diri kalian, sebelum kalian dievaluasi."
Sepandangan dengan bapak dan anak di atas, Ali bin Abi Thalib berkata; "Sesungguhnya dunia ini adalah tempat beramal tanpa hisab, sedangkan akhirat adalah tempat hisab tanpa amal."
Jadi, semakin dini kita menyadari akan hakekat kehidupan akhirat, maka peluang keselamatan itu semakin besar, Insya Allah.
Ya, Allah, kepada-Mu kami meminta pertolongan dan keselamatan semata. (Khairul Hibri/jurnalmuslim.com)
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
0 Response to "Tadabbur 'Ayat Kauniah' di RSU Tuban"
Post a Comment