illustrasi, sejarah walisongo |
Fakta dan Fiktif dalam Penulisan Sejarah
Masyarakat kita adalah masyarakat yang gemar bercerita. Cerita sejarah menjadi cerita yang sangat diminati, apalagi jika dibumbui hal-hal yang dipandang hebat dan luar biasa. Akan tetapi, tidak semua cerita yang tersebar adalah cerita sejarah. Sering kali fakta bercampur fiktif. Sayangnya, banyak penulis sejarah tidak memahami mana fakta dan mana fiktif. Mereka menulis sejarah tanpa ilmu sejarah.
Untuk menyajikan tulisan sejarah, ada prosedur yang harus dilalui oleh sejarawan. Prosedur itu disebut metode sejarah yang terdiri dari empat langkah. Langkah pertama adalah heuristik. Dalam langkah ini, sejarawan harus mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah media yang mengandung jejak-jejak masa lampau. Sumber sejarah bisa berupa benda, seperti bangunan, perkakas, senjata, dan sebagainya; tulisan, seperti buku, naskah, dan dokumen tertulis; serta lisan, seperti hasil wawancara dengan pelaku atau saksi dari suatu peristiwa sejarah. Sejarah bukanlah sastra. Imajinasi sejarawan harus ditulis berdasarkan sumber.
Langkah kedua adalah kritik sumber atau verifikasi. Dalam langkah ini, sumber sejarah yang sudah dikumpulkan harus dibuktikan keasliannya. Sejarawan harus melihat fisik sumber untuk meyakinkan apakah sumber tersebut otentik, utuh, ataukah salinan. Hal ini disebut kritik ekstern. Selain itu, konten sumber sejarah juga harus diteliti bisakah dipercaya atau tidak. Hal ini disebut kritik intern. Langkah ini akan menghasilkan data sejarah, yaitu informasi yang terkandung dalam sumber.
Langkah ketiga adalah interpretasi. Data-data hasil dari langkah kedua ditafsirkan, diuraikan dan digabungkan oleh sejarawan sehingga menjadi fakta. Untuk menemukan fakta, sejarawan tidak asal mengklaim ini lho fakta. Fakta sejarah muncul melalui proses panjang penelitian sejarawan. Fakta dibagi dua, fakta keras (hard fact), yaitu fakta yang kebenarannya tidak diperdebatkan lagi di kalangan sejarawan, dan fakta lunak (shoft fact), yaitu fakta yang masih terbuka peluang untuk diperdebatkan. Baik fakta keras maupun fakta lunak, keduanya harus berdasarkan data. Apabila tanpa data, namanya fiktif, bukan fakta.
Langkah keempat adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah. Kumpulan fakta sejarah disusun oleh sejarawan sehingga membentuk “konstruk” (bangunan) sejarah yang bermakna. Dalam penulisan sejarah, aspek kronologis sangat penting. Artinya, tulisan sejarah harus memperlihatkan adanya proses perubahan dalam kronologi waktu tertentu. (Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hlm. 89-105; Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, 27-142; E. Kosim, Metode Sejarah: Asas dan Proses, hlm. 57-107)
Wali Sanga Utusan Khilafah Turki Utsmani: Fakta Atau Fiktif?
Sekarang, marilah kita kaji cerita bahwa Wali Sanga adalah utusan Khilafah Turki Utsmani dengan mengacu pada metode sejarah. Sumber cerita ini konon adalah kitab Kanzul ‘Ulum karya Ibnu Bathuthah. Kanzul ‘Ulum adalah kitab yang tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan wujudnya alias tidak bisa di-heuristik. Tulisan-tulisan yang menyebutkan kitab ini tidak merujuk langsung kepadanya, tetapi hanya mengutip dari buku karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Wali Sanga Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Kesalahan penyebutan nama kitab menjadi Kanzul ‘Hum juga menunjukkan bahwa orang yang menyebutnya hanya mencopy-paste tulisan lain tanpa pernah mengetahui wujudnya. Saya pernah berusaha mengecek keberadaan kitab ini yang konon tersimpan di museum Istana Turki di Istanbul melalui teman-teman yang mempunyai akses ke negara yang dipimpin oleh Erdogan itu, tetapi gagal. Seorang teman memberi tahu bahwa museum tersebut sangat tertutup dan hanya bisa diakses jika melalui surat resmi negara vis a vis negara.
Seandainya kitab Kanzul ‘Ulum itu memang ada, apakah isinya tsiqah alias bisa dipercaya? Ibnu Bathuthah, orang yang dianggap sebagai pengarang kitab ini, hidup pada 1304-1369 M. Sementara itu, Sultan Muhammad I, orang yang dianggap telah mengirimkan para ulama Wali Sanga sehingga kisahnya ditulis oleh Ibnu Bathuthah, hidup pada 1379-1421 M. Ada jarak 10 tahun antara kematian Ibnu Bathuthah (1369) dan kelahiran Sultan Muhammad I (1379). Pertanyaaannya, kapan kedua orang ini bertemu? Mungkinkah Ibnu Bathuthah menulis peristiwa yang terjadi setelah ia mati?
Anggapan bahwa Turki Utsmani sudah menjadi khilafah pada masa Sultan Muhammad I adalah a-historis. Saat itu, Turki Utsmani baru berupa daulah. Sultan Turki Utsmani pertama yang diakui secara resmi sebagai khalifah adalah Sultan Salim I (1512-1520). Pada 1517, Sultan Salim I berhasil menaklukkan Mesir dan menawan Khalifah Abbasiyah terakhir, Al-Mutawwil ‘Alallah, lalu dibawa ke Istanbul. Sesampai di sana, dia disuruh menyerahkan lambang-lambang khalifah kepada Sultan Salim. Beberapa masa kemudian, Khalifah yang tidak ada arti politiknya itu kembali ke Mesir. (Hamka, Sejarah Umat Islam,hlm. 593)
Jadi, cerita bahwa Wali Sanga adalah utusan Khilafah Turki Utsmani adalah fiktif; bukan fakta sejarah. Cerita ini memang masyhur di sebagian masyarakat kita, tetapi tidak masyhur di kalangan sejarawan. Wallahu a‘lam.
Source: Facebook Muhammad Isa Anshory
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
0 Response to "Benarkah Wali Songo Utusan Khilafah Turki Utsmani? [Fakta dan Sejarah]"
Post a Comment