Dalam SehariMarsekal TNI (Purn) Sukardi (berdiri kedua dari kanan) bersama para kru udara pesawat Hercules. [Dok. Pribadi] ☆
Pada 27 Agustus 1964, di sekitaran Samudera Indonesia melintas kapal induk Inggris HMS Victorious dengan puluhan pesawat tempur jenis Buccaneer di atas deknya. Kapal induk yang dikawal oleh dua kapal perusak (destroyer) itu kemudian melintasi Selat Sunda.
Masa itu memang sedang terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Penerjunan-penerjunan pasukan dilakukan di beberapa tempat di daratan Malaysia serta kawasan Kalimantan Barat dan Timur. Intensitas penerbangan pun meningkat antara pihak Inggris dan sekutunya dengan Indonesia. AURI mengerahkan pesawat-pesawat pengebom Tupolev Tu-16 dan Tupolev Tu-16KS, juga penempur MiG-21 dan MiG-17, serta pesawat C-130B sebagai pendukung mereka.
“Segera pencarkan pesawat-pesawat Hercules keluar dari Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma Jakarta!” Demikian kira-kira isi perintah dari Panglima Komando Operasi kepada Marsekal TNI (Purn) Sukardi yang waktu itu masih aktif menjadi penerbang pesawat Hercules berpangkat perwira menengah. Di saat perintah itu turun, sukardi sedang mengikuti pendidikan Seskau di Jakarta.
Waktu itu AURI memiliki 10 pesawat Hercules sebagai pesawat angkut berat yang tergabung dalam Skadron 31 dengan home base di Halim Perdanakusuma. Empat pesawat harus secepatnya diungsikan ke pangkalan-pangkalan udara sekitar hanya dalam satu hari. Keempat pangkalan udara itu adalah Gorda di Serang, Semplak –sekarang Atang Senjaya— di Bogor, Kalijati –sekarang Suryadarma— di Subang, dan Tasikmalaya –kini Wiriadinata.
Masalahnya setahu Sukardi, kecuali Lanud Tasikmalaya yang memliki landasan sepanjang 1.100 meter, belum pernah ada Hercules yang mendarat atau lepas landas dari Semplak, Gorda, dan Kalijati. Di ketiga pangkalan udara itu, landas pacunya kurang dari 1.000 meter, lembek, dan bergelombang.
Sukardi tidak punya waktu untuk mengecek kondisinya waktu itu. “Sekarang atau hancur semua!” Demikian bunyi terakhir dari perintah yang ia terima.
Persiapan-persiapan dilakukan di Skadron 31 Angkut Berat. Ban pada roda-roda utama tekanannya dikurangi dan sedikit dikempeskan. Bahan bakar dikurangi, hanya tinggal 7 ton. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur darurat agar landasan pacu tidak rusak dan pendaratan aman.
Gorda yang pertama. Di sini tidak tersedia komunikasi radio antara pesawat udara dengan petugas lapangan di darat. Karena itulah, upaya pendaratan yang pertama gagal karena di landasan pacu ada banyak sapi dan kerbau yang sedang merumput.
Untuk mengusir binatang-binatang tersebut, pesawat bermesin empat ini harus terbang rendah di atas landasan pacu. Setelah itu, barulah pesawat dapat mendarat dengan selamat. Inilah kali pertama pesawat Hercules mendarat di Gorda. Hercules kemudian diparkirkan di tempat yang aman. Bergegas bersama awak pesawat lainnya, ia kembali ke Lanuma Halim menggunakan helikopter yang sudah tersedia.
Pengungsian kedua di Semplak. Landasan pacu di sini panjangnya 800 meter berupa lapangan rumput yang kondisinya bergelombang dan lembek, juga becek setelah tersiram hujan. Pendaratan hanya bisa dilakukan dari arah utara karena di ujung selatan landasan terdapat pepohonan yang tinggi dan dapat menyulitkan proses pendaratan.
Setelah sekitar 10 menit terbang dari Halim, sampailah kami di atas lapangan terbang Semplak.
Kru Pesawat Hercules dalam sebuah briefing sebelum operasi. [Dok. Pribadi]
Sukardi tak segera melakukan pendaratan, tapi simulasi approach dan pendaratan dulu. Simulasi itu dilakukan dengan konsentrasi penuh sambil mengamati situasi dan kondisi landasan rumput, yang katanya semalam diguyur hujan lebat, dari jarak dekat. Setelah yakin kalau landasan rumput itu bersih dan bebas rintangan, Sukardi pun siap mendarat.
Ia berkonsentrasi penuh untuk melakukan proses pendaratan. Sukardi pun melakukan touch-down di bagian paling ujung landasan. Setelah itu, pesawat full reversed tanpa menggunakan rem layaknya prosedur pendaratan darurat. Proses itu dilakukan agar pesawat tidak tergelincir karena lapangan rumput licin dan becek.
Pendaratan berhasil! Setelah pesawat diparkirkan di tempat yang sudah disediakan, seluruh kru terbang kembali ke Halim dengan helikopter.
Giliran ke Kalijati. Sebelumnya, Sukardi memang pernah beberapa kali mendarat di sana, tapi dengan pesawat C-47 Dakota dan Avia-14 buatan Czechoslovakia. Landasan pacu Kalijati memang lebih panjang dari yang di Semplak. Namun kondisinya sama; beralas rumput, lembek, dan becek kalau diguyur hujan.
Penerbangan dari Halim ke Kalijati hanya 15 menit. Sebelum mendarat, ia terbang rendah dulu di atas landasan untuk mengetahui situasinya. Clear, proses pendaratan pun dilakukan dari arah barat. Seperti pendaratan di Gorda dan Semplak, ini juga rekor sebagai pendaratan pertama C-130B Hercules di Kalijati. Setelah memarkirkan pesawat, segera kami diterbangkan helikopter ke Halim.
Pengusian ke empat di Tasikmalaya. Sukardi memang sudah beberapa kali mendarat di sana, termasuk dengan pesawat Hercules. Maka ia pun merasa bahwa pendaratan di sana tak akan ada masalah karena landasan beraspal. Panjang landasan pun cukup, yakni 1.100 meter, walaupun tidak sempurna.
Memang proses pengungsian pesawat Hercules ke Tasikamalaya tidak ada masalah. Namun karena dalam satu hari melakukan ferry ke empat pangkalan, yang tiga di antaranya tidak normal sehingga memerlukan konsentrasi tenaga dan pikiran, Sukardi mengaku kelelahan. Ditambah lagi beban pikiran untuk mengembalikan lagi pesawat-pesawat itu dari Gorda, Semplak, Kalijati, dan Tasikmalaya ke Halim Jakarta, kalau situasi kembali aman.
Bersama kru lain, Sukardi tiba kembali di Halim sekitar pukul 17.00 petang. Beruntung, Inggris tidak melancarkan serangan udara ke pangkalan udara-pangkalan udara atau pesawat-pesawat AURI. Kapal induk milik Royal Navy berlalu begitu saja tanpa terjadi insiden.
**Dikisahkan dari buku Biografi Marsekal TNI (Purn) Sukardi yang berjudul “Saatnya Berbagi Pengalaman dan Rasa”
Author: Remigius Septian & Reni R.
Pada 27 Agustus 1964, di sekitaran Samudera Indonesia melintas kapal induk Inggris HMS Victorious dengan puluhan pesawat tempur jenis Buccaneer di atas deknya. Kapal induk yang dikawal oleh dua kapal perusak (destroyer) itu kemudian melintasi Selat Sunda.
Masa itu memang sedang terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Penerjunan-penerjunan pasukan dilakukan di beberapa tempat di daratan Malaysia serta kawasan Kalimantan Barat dan Timur. Intensitas penerbangan pun meningkat antara pihak Inggris dan sekutunya dengan Indonesia. AURI mengerahkan pesawat-pesawat pengebom Tupolev Tu-16 dan Tupolev Tu-16KS, juga penempur MiG-21 dan MiG-17, serta pesawat C-130B sebagai pendukung mereka.
“Segera pencarkan pesawat-pesawat Hercules keluar dari Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma Jakarta!” Demikian kira-kira isi perintah dari Panglima Komando Operasi kepada Marsekal TNI (Purn) Sukardi yang waktu itu masih aktif menjadi penerbang pesawat Hercules berpangkat perwira menengah. Di saat perintah itu turun, sukardi sedang mengikuti pendidikan Seskau di Jakarta.
Waktu itu AURI memiliki 10 pesawat Hercules sebagai pesawat angkut berat yang tergabung dalam Skadron 31 dengan home base di Halim Perdanakusuma. Empat pesawat harus secepatnya diungsikan ke pangkalan-pangkalan udara sekitar hanya dalam satu hari. Keempat pangkalan udara itu adalah Gorda di Serang, Semplak –sekarang Atang Senjaya— di Bogor, Kalijati –sekarang Suryadarma— di Subang, dan Tasikmalaya –kini Wiriadinata.
Masalahnya setahu Sukardi, kecuali Lanud Tasikmalaya yang memliki landasan sepanjang 1.100 meter, belum pernah ada Hercules yang mendarat atau lepas landas dari Semplak, Gorda, dan Kalijati. Di ketiga pangkalan udara itu, landas pacunya kurang dari 1.000 meter, lembek, dan bergelombang.
Sukardi tidak punya waktu untuk mengecek kondisinya waktu itu. “Sekarang atau hancur semua!” Demikian bunyi terakhir dari perintah yang ia terima.
Persiapan-persiapan dilakukan di Skadron 31 Angkut Berat. Ban pada roda-roda utama tekanannya dikurangi dan sedikit dikempeskan. Bahan bakar dikurangi, hanya tinggal 7 ton. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur darurat agar landasan pacu tidak rusak dan pendaratan aman.
Gorda yang pertama. Di sini tidak tersedia komunikasi radio antara pesawat udara dengan petugas lapangan di darat. Karena itulah, upaya pendaratan yang pertama gagal karena di landasan pacu ada banyak sapi dan kerbau yang sedang merumput.
Untuk mengusir binatang-binatang tersebut, pesawat bermesin empat ini harus terbang rendah di atas landasan pacu. Setelah itu, barulah pesawat dapat mendarat dengan selamat. Inilah kali pertama pesawat Hercules mendarat di Gorda. Hercules kemudian diparkirkan di tempat yang aman. Bergegas bersama awak pesawat lainnya, ia kembali ke Lanuma Halim menggunakan helikopter yang sudah tersedia.
Pengungsian kedua di Semplak. Landasan pacu di sini panjangnya 800 meter berupa lapangan rumput yang kondisinya bergelombang dan lembek, juga becek setelah tersiram hujan. Pendaratan hanya bisa dilakukan dari arah utara karena di ujung selatan landasan terdapat pepohonan yang tinggi dan dapat menyulitkan proses pendaratan.
Setelah sekitar 10 menit terbang dari Halim, sampailah kami di atas lapangan terbang Semplak.
Kru Pesawat Hercules dalam sebuah briefing sebelum operasi. [Dok. Pribadi]
Sukardi tak segera melakukan pendaratan, tapi simulasi approach dan pendaratan dulu. Simulasi itu dilakukan dengan konsentrasi penuh sambil mengamati situasi dan kondisi landasan rumput, yang katanya semalam diguyur hujan lebat, dari jarak dekat. Setelah yakin kalau landasan rumput itu bersih dan bebas rintangan, Sukardi pun siap mendarat.
Ia berkonsentrasi penuh untuk melakukan proses pendaratan. Sukardi pun melakukan touch-down di bagian paling ujung landasan. Setelah itu, pesawat full reversed tanpa menggunakan rem layaknya prosedur pendaratan darurat. Proses itu dilakukan agar pesawat tidak tergelincir karena lapangan rumput licin dan becek.
Pendaratan berhasil! Setelah pesawat diparkirkan di tempat yang sudah disediakan, seluruh kru terbang kembali ke Halim dengan helikopter.
Giliran ke Kalijati. Sebelumnya, Sukardi memang pernah beberapa kali mendarat di sana, tapi dengan pesawat C-47 Dakota dan Avia-14 buatan Czechoslovakia. Landasan pacu Kalijati memang lebih panjang dari yang di Semplak. Namun kondisinya sama; beralas rumput, lembek, dan becek kalau diguyur hujan.
Penerbangan dari Halim ke Kalijati hanya 15 menit. Sebelum mendarat, ia terbang rendah dulu di atas landasan untuk mengetahui situasinya. Clear, proses pendaratan pun dilakukan dari arah barat. Seperti pendaratan di Gorda dan Semplak, ini juga rekor sebagai pendaratan pertama C-130B Hercules di Kalijati. Setelah memarkirkan pesawat, segera kami diterbangkan helikopter ke Halim.
Pengusian ke empat di Tasikmalaya. Sukardi memang sudah beberapa kali mendarat di sana, termasuk dengan pesawat Hercules. Maka ia pun merasa bahwa pendaratan di sana tak akan ada masalah karena landasan beraspal. Panjang landasan pun cukup, yakni 1.100 meter, walaupun tidak sempurna.
Memang proses pengungsian pesawat Hercules ke Tasikamalaya tidak ada masalah. Namun karena dalam satu hari melakukan ferry ke empat pangkalan, yang tiga di antaranya tidak normal sehingga memerlukan konsentrasi tenaga dan pikiran, Sukardi mengaku kelelahan. Ditambah lagi beban pikiran untuk mengembalikan lagi pesawat-pesawat itu dari Gorda, Semplak, Kalijati, dan Tasikmalaya ke Halim Jakarta, kalau situasi kembali aman.
Bersama kru lain, Sukardi tiba kembali di Halim sekitar pukul 17.00 petang. Beruntung, Inggris tidak melancarkan serangan udara ke pangkalan udara-pangkalan udara atau pesawat-pesawat AURI. Kapal induk milik Royal Navy berlalu begitu saja tanpa terjadi insiden.
**Dikisahkan dari buku Biografi Marsekal TNI (Purn) Sukardi yang berjudul “Saatnya Berbagi Pengalaman dan Rasa”
Author: Remigius Septian & Reni R.
☆ Angkasa
sumber : https://garudamiliter.blogspot.com/
0 Response to "Kisah Putera Indonesia Terbangkan Pesawat Hercules ke Empat Lanud"
Post a Comment