Jurnalmuslim.com - Neoliberal telah menjadi komoditas politik Indonesia sejak pemerintahan Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono,. mereka melakukan kebijakan privatisasi BUMN. Sistem neoliberal dianggap baik karena mengurangi peran negara dan memaksimalkan privatisasi tetapi bagaimana akibatnya sekarang?. Prof. Sri Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia angkat bicara , neoliberalisme menjadi penyebab menurunnya kesejahteraan Indonesia.
“Neolib justru membuat daulat pasar, bukan daulat rakyat. Karena neolib, pembangunan hanya menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Oleh sebab itu neolib tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat padahal sistem ekonomi harus bisa memberikan rakyat kesejahteraan. Maka bisa dikatakan bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia telah melanggar konstitusi,” tutur Sri Edi.
Kemudian dia menandaskan lagi, “Perundangan yang terkait dengan pengaturan ekonomi di Indonesia telah melanggar konstitusi. Pemimpin negara telah menjual rakyat dan bangsanya sendiri karena terbelit neoliberalisme asing. Legislatif pun diminta untuk berperan aktif memperbaiki amandemen undang-undang yang manipulatif.”
TERANCAM GAGAL
Pencitraan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY terhadap perkembangan negara dan kenyataan yang dirasakan rakyat nyatanya masih jauh panggang dari api. Dan, sebuah kenyataan terungkap lagi, menjelang akhir Juni lalu sebuah lembaga Fund for Peace yang berpusat di Washington DC, AS, mengeluarkan Indeks Negara Gagal.
Ternyata Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 178 negara di seluruh dunia. Dengan peringkat itu Indonesia berada dalam kategori warning, negara-negara yang perlu ‘awas’ karena sudah berada di tubir negara gagal. Kalangan nonpemerintah umumnya berpendapat Indonesia memang memperlihatkan sejumlah indikator menjadi negara gagal.
Sedangkan para pejabat tinggi pemerintah menolak jika Indonesia sekarang berada di tubir negara gagal. Perbedaan pandangan ini bisa dipahami karena jika Indonesia dikatakan mengarah menjadi negara gagal, berarti pemerintah tidak berhasil dalam berbagai programnya. Hasil survei mana pun selalu bisa dipersoalkan, baik dari segi metodologi maupun hasilnya. Apalagi, jika sebagian masyarakat kita sendiri tidak merasa Indonesia sedang terjerumus menjadi negara gagal, kehidupan mereka sehari-hari berjalan biasa biasa saja.
Tetapi, agaknya perlu mempertimbangkan 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace untuk mengukur Indeks Negara Gagal tersebut. Kita kemudian dapat melihat dan merasakan apakah Indonesia mengarah menjadi negara gagal. Ada empat indikator dalam bidang sosial dan enam indikator bidang politik.
Di bidang sosial, pertama, memuncaknya tekanan demografis. Kedua, semakin banyak jumlah pengungsi dan pelarian warga masyarakat tertentu dari kediaman mereka, sehingga menciptakan situasi kemanusiaan darurat. Ketiga, meluasnya tindakan kekerasan balas dendam antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lain, dan keempat, meningkatnya lingkungan kumuh di wilayah-wilayah miskin. Lihat saja lingkungan kumuh di Jakarta, di bawah jalan layang tol atau tanah kosong tertentu seolah tidak bisa diatasi pemerintah.
Meski kesenjangan ekonomi terlihat kian jelas dalam masyarakat kita tetapi ekonomi Indonesia secara keseluruhan jauh dari merosot. Sebaliknya, kelas menengah terus bertumbuh. Akan tetapi jika indikator-indikator yang tidak menggembirakan itu tidak diperbaiki secara serius, bukan tidak mungkin Indonesia betul-betul terjerumus jadi negara gagal.
Memasuki usianya yang sudah tak muda lagi, Indonesia sepertinya tak berdaya menghadapi kelompok-kelompok borjuis yang mengeruk kekayaan alam negeri ini. Di usianya yang tak muda lagi, Indonesia sepertinya sudah menjauh dari cita-cita mulia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Negara ini semakin lemah dan mengkhawatirkan. Setiap hari kita disuguhi menurunnya kualitas kehidupan rakyat.
Di hadapan publik, pemerintah dengan bangga merilis angka-angka yang fantastis dan menggembirakan dalam kacamata ekonomi makro. Rilis angka itu entah ditujukan kepada siapa?. Faktanya, rakyat semakin sengsara, setiap hari ada saja anak bangsa yang berteriak kelaparan. Di tengah fatamorgana, rakyat tetap menuntut adanya keadilan dan arah pembangunan ekonomi yang jelas bagi kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan kaum kapitalis.
Toto Rahardjo, pekerja bebas kebudayaan dan pengembangan masyarakat pedesaan di Jawa Tengah menuturkan, “Ya bagaimana lagi orang-orang besar yang kita saksikan sekarang hanya cari makan sendiri-sendiri, tidak punya visi yang jelas tentang apa yang harus mereka perjuangkan.”
Dulu, tutur Toto lebih lanjut, para pejuang Indonesia merasa memiliki musuh bersama yaitu penjajah. Namun ketika beralih ke Orde Baru pimpinan Soeharto segalanya menjadi rusak karena dia disetting oleh negara Barat dengan dalih pembangunan, kemudian diarahkan untuk mengikuti pasar bebas. “Lha kalau pasar ya prinsipnya tentu dagang, dan yang petimbangannya untung rugi. Maka yang disebut rakyat adalah konsumen dan di pihak lain, negara-negara Barat adalah menjajah Indonesia.
Apabila pemerintah tidak mau dianggap gagal mengelola bangsa ini, momentum 17 Agustus ini hendaknya dijadikan pijakan untuk memperbaiki arah kebijakannya. Namun dengan pemimpin yang peragu seperti SBY maka tuntutan rakyat agar dia berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu ibarat mengharap bulan jatuh di pangkuan. Mana mungkin. (kabarindiependen)
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Prinsip Neoliberalisme: Menggusur Orang Miskin, Bukan Menggusur Kemiskinan"
Post a Comment