
Kebijakan pembangunan militer Indonesia pada tahun 2019 memasuki fase ketiga dalam kerangka Kebijakan Minimmum Essential Force (MEF). Diberitakan oleh Media Indonesia, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan secara keseluruhan pencapaian kebijakan MEF hingga tahun 2019 telah mencapai 72%. Kebijakan MEF dimulai sejak tahun 2009, terbagi dalam tiga fase yaitu fase pertama 2009-2014, fase kedua 2014-2019, dan fase ketiga 2019-2024. Kebijakan MEF didukung secara konsisten oleh anggaran pertahanan yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Memasuki fase ketiga MEF terdapat beberapa momentum yang menambah optimisme kebijakan akan tercapai secara penuh pada tahun 2024. Tahun 2019 merupakan kali kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintahan dijalankan oleh Kabinet Indonesia Maju. Presiden Joko Widodo menunjuk Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan menggantikan Ryamizard Ryacudu masa bakti 2019-2024. Momentum tersebut ditunjang dengan anggaran pertahanan tahun 2020 sebesar 126 Trilyun Rupiah, meningkat dari tahun 2019 sebesar 16%, anggaran tersebut merupakan 5% dari keseluruhan APBN. Dengan kenaikan anggaran pertahanan yang cenderung stabil, Indonesia menempati peringkat 26 negara-negara dengan anggaran pertahanan tertinggi di dunia (SIPRI, 2019). Kementerian Pertahanan mentargetkan dengan anggaran pertahanan yang ada, MEF dapat dipenuhi hingga tahun 2024.

Kebijakan MEF seyogyanya mengakomodasi berbagai kebijakan pertahanan terkait untuk mewujudkan kebijakan pembangunan pertahanan yang ideal. Salah satu kebijakan terkait dengan alutsista adalah kebijakan industri pertahanan dalam negeri melalui UU No.16 Tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut diamanatkan kepada BUMN industri pertahanan menjadi lead integrator pembangunan alutsista. Lebih lanjut keputusan KKIP Kep/12/KKIP/XII/2013 menyebutkan PT PAL Indonesia (Persero) menjadi lead integrator pembangunan alutsista matra laut. Idealnya kebijakan MEF dibangun untuk mengakomodasi industri pertahanan dalam negeri, sehingga akan mewujudkan pembangunan pertahanan dengan didasarkan pada kemandirian industri pertahanan. Sinergi yang baik dan berkelanjutan didasarkan pada komitmen kuat antara pengguna (Kementerian Pertahanan) dengan industri pertahanan merupakan prasyarat bagi kemandirian industri pertahanan.
Industri pertahanan yang mandiri merupakan visi yang harus dicapai. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun juga untuk kebutuhan ekspor. Kebijakan MEF seyogyanya dapat menjadi pendorong percepatan kemandirian industri pertahanan dengan cara pertama, pengadaan alutsista berbasis kapabilitas industri pertahanan dalam negeri. Kedua, jika industri pertahanan dalam negeri belum mampu memenuhi, maka pengadaan melalui produsen luar negeri, transfer of technology (ToT) kepada industri pertahanan dalam negeri menjadi prasyarat. ToT yang dilakukan akan menjadi dasar penguasaan teknologi alutsista di masa depan.
Industri Pertahanan Dalam Negeri

Penguasaan teknologi oleh industri strategis bukanlah suatu hal yang sederhana. Negara telah melakukan investasi cukup besar terhadap PT PAL Indonesia (Persero) melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Investasi tersebut digunakan untuk menunjang keberhasilan penguasaan teknologi, ToT dan Transfer of Knowledge (ToK). Sebagaimana investasi lainnya, nilai tersebut seiring dengan berjalannya waktu mengalamai penyusutan akibat pengaruh depresiasi, amortisasi, dan lainnya yang dibebankan kepada overhead perusahaan. Investasi yang telah dilakukan harus diutilisasikan semaksimal mungkin untuk proyek-proyek berteknologi tinggi seperti LPD, PKR, Frigate, dan Kapal Selam untuk menjaga produktifitas dan sustainabilitas. Dalam investasi tersebut terdapat amanat rakyat bagi kemaslahatan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terdapat dua mekanisme penguasaan teknologi pertahanan, pertama melalui riset komprehensif dan kedua melalui skema ToT. Masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. ToT dapat menjadi pilihan karena memiliki keunggulan mempersingkat lead time riset dan pengembangan. Apapun pilihan pemerintah, tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan dalam bingkai kepentingan nasional Bangsa Indonesia.

Kemampuan jelajah samudera menjadi salah satu pertimbangan pengadaan frigate. Dilansir dari janes.com, Kapal tersebut memiliki spesifikasi panjang 138 meter, kecepatan maksimal 30 knot, dan awak kapal 165 personel. Kapal tersebut dapat dipersenjatai rudal jenis BGM-109 Tomahawk atau sejenisnya. Pengadaan tersebut akan semakin memperkuat TNI AL untuk melindungi wilayah NKRI dan menghadirkan efek gentar (deterence). Namun terdapat sebuah catatan yang harus menjadi perhatian pemerintah, prasyarat ToT menjadi amanat yang harus tetap konsisten untuk dijalankan.
Untuk memastikan penguasaan teknologi maju pertahanan oleh anak bangsa. PT PAL Indonesia (Persero) memiliki catatan keberhasilan dalam ToT sebelumnya seperti pada program Kapal Patroli Cepat (FPB), LPD, Patroli Kawal Rudal (PKR), dan Kapal Selam. PT PAL Indonesia (Persero) memiliki kesiapan untuk menjalankan program ToT dan memastikan penguasaan teknologi serta keberlanjutan produksi frigate kelas Iver Huitfeldt.
Tantangan ke depan
Tantangan bagi Pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan adalah memastikan tercapainya target MEF tahap III sesuai dengan anggaran yang ada dan merumuskan kebijakan selanjutnya. Dalam menjalankan kebijakan MEF pemerintah harus tetap konsisten mengoptimalkan kapabilitas industri pertahanan dalam negeri sejalan dengan amanat konstitusi. Kebijakan impor alutsista dapat dilakukan jika industri pertahanan dalam negeri tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan, namun setiap kebijakan pengadaan melalui impor mensyaratkan ToT dengan skema yang menguntungkan bagi Bangsa Indonesia.
★ PAL
sumber : https://garudamiliter.blogspot.com/
0 Response to "Kebijakan Modernisasi Alutsista Laut Berbasis MEF Tahap III"
Post a Comment