Opini by Alman Helvas AliDua kapal selam KRI Ardadedali-404 (depan) dan KRI Alugoro-405 (belakang) bersandar di Dermaga Faslabuh Selat Lampa Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (6/4/2021). [ANTARA/Teguh Prihatna] ⚓️
Akuisisi kapal selam merupakan salah satu program Kementerian Pertahanan dalam Minimum Essential Force (MEF) tahap ketiga tahun 2020-2024. Menteri Keuangan telah mengalokasikan anggaran senilai US$ 600 juta pada akhir April 2021 dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) untuk membeli satu kapal selam dengan tonase antara 1.800 ton-2.800 ton. Kebutuhan kapal selam pada MEF tahap ketiga sebenarnya minimal tiga kapal selam, namun kondisi fiskal pemerintah yang tertekan karena pandemi Covid-19 membuat Kementerian Keuangan tidak dapat langsung memenuhi hal tersebut dalam satu kali alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN). Pengadaan kapal selam mensyaratkan adanya paket offset karena Indonesia memiliki aspirasi politik untuk menguasai teknologi kapal selam.
Pada APBN Tahun Anggaran 2015, Kemenkeu telah mengucurkan Penanaman Modal Negara (PMN) Rp 1,5 triliun kepada PT PAL Indonesia untuk membangun fasilitas produksi kapal selam. Kucuran PMN itu untuk mendukung kontrak pembelian tiga kapal selam diesel elektrik DSME 209/1400 sebesar US$ 1,1 miliar di mana galangan Korea Selatan (Korsel) menjanjikan alih teknologi sehingga Indonesia akan memiliki kemampuan domestik untuk membangun kapal selam. Namun faktanya tiga kapal selam DSME 209/1400 yang telah diserahkan kepada Indonesia mempunyai beragam permasalahan teknis sehingga lebih banyak terikat di pangkalan daripada melaksanakan misi patroli. Terdapat kekecewaan terhadap keandalan teknologi kapal selam Korsel, namun itu adalah harga yang harus dibayar ketika memutuskan membeli kapal selam ke galangan yang belum memiliki pengalaman matang dalam teknologi kapal selam.
Kemenkeu kembali mengalirkan Rp 1,28 triliun dalam APBN Tahun Anggaran 2021 kepada PT PAL Indonesia untuk melengkapi fasilitas produksi kapal selam. Namun BUMN yang pernah dipimpin oleh Presiden ke-3 RI (Alm) B.J. Habibie ini belum membelanjakan dana PMN tersebut karena harus menunggu keputusan Kemenhan mengenai kapal selam yang akan dibeli oleh Indonesia. BUMN yang berpusat di Surabaya ini nantinya akan membeli peralatan produksi kapal selam yang sesuai dengan kapal selam pilihan Kemenhan. Dengan kata lain, harus ada keselarasan antara pilihan kapal selam Kemenhan dengan pembelanjaan PMN untun melengkapi peralatan produksi kapal selam.
Dewasa ini terdapat empat negara di dunia yang menjadi kiblat pengembangan teknologi kapal selam diesel elektrik, yaitu Jerman, Prancis, Swedia dan Rusia. Jerman telah mengekspor teknologi kapal selam ke Korsel sehingga berkontribusi terhadap kemampuan Negeri Ginseng mendesain dan membangun kapal selam secara mandiri. India dan Brasil mendapatkan ekspor teknologi kapal selam dari Prancis agar dapat mengembangkan kapal selam secara domestik. Rusia mengekspor teknologi kapal selam ke India pasca Perang Dingin, sehingga order of battle kapal selam India terdiri dari kapal selam buatan Prancis dan Rusia.
Berdasarkan pengalaman akuisisi tiga kapal selam DSME 209/1400, Indonesia harus memahami peta akar teknologi kapal selam diesel elektrik di dunia. Fakta menunjukan bahwa hanya Jerman, Prancis, Swedia dan Rusia yang telah berpengalaman lebih dari 100 tahun dengan teknologi kapal selam dan menjadi acuan negara-negara berkembang. Dengan mempertimbangkan CAATSA, Rusia tidak mungkin menjadi pilihan Indonesia untuk memasok kapal selam, begitu pula dengan Swedia karena kapal selam buatan Kockums belum memiliki pelanggan internasional.
Ilustrasi Riachuelo kapal selam tipe Scorpene SBR yang dibuat untuk AL Brazil [Naval Group, Marinha do Brasi]
Sehingga secara alamiah pilihan logis yang tersedia bagi Indonesia untuk akuisisi kapal selam adalah Jerman dan Prancis. ThyssenKrupp Marine Systems sebagai penerus Howaldtswerke-Deutsche Werf telah menawarkan kapal selam baru kepada Indonesia, termasuk pula tawaran alih teknologi kapal selam. Jerman memiliki kebijakan luar negeri yang ketat menyangkut perdagangan pertahanan, sebab masih berpegang pada diktum Hans-Dietrich Genscher, yaitu was schwimmt geht, was rollt geht nicht. Mengacu pada diktum Genscher, peluang ekspor kapal selam Jerman ke Indonesia adalah sebuah keniscayaan dibandingkan dengan peluang ekspor kendaraan tempur darat.
Prancis melalui Naval Group merupakan opsi lainnya bagi Indonesia untuk kembali membangun kemampuan peperangan bawah airnya yang kini terpuruk. Naval Group telah menunjukkan keseriusan untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan kapal selam Indonesia, termasuk komitmen untuk melakukan pembangunan kapal selam kelas Scorpene sepenuhnya di Indonesia. Dengan konsep L'autonomie strategique, Paris menawarkan bantuan untuk membangun kemampuan industri pertahanan Indonesia apabila Jakarta membeli kapal selam kelas Scorpene. Dibanding dengan beberapa negara Eropa, Prancis mempunyai karakter kebijakan luar negeri yang relatif independen dan tidak ingin tergantung pada sepenuhnya pada NATO.
Ekspor kapal selam berikut teknologi merupakan bagian dari hubungan diplomatik antarnegara. Izin ekspor tidak hanya didasari oleh kepentingan ekonomi negara eksportir, tetapi pula relasi diplomatik negara eksportir dengan negara importir senjata. Jerman dan Indonesia memiliki hubungan diplomasi yang baik tanpa ada isu-isu tertentu yang menjadi ganjalan. Prancis pun mempunyai hubungan diplomatik yang bagus dengan Indonesia dan dalam urusan perdagangan pertahanan, para petinggi Prancis telah memberikan sinyal positif mendukung hal tersebut.
Jerman dan Prancis secara politik menganut kebijakan luar negeri yang membuka peluang ekspor kapal selam ke negara lain sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Namun di balik hal tersebut, bagaimana komitmen Indonesia untuk melindungi teknologi kapal selam yang mungkin diberikan oleh negara eksportir melalui paket offset? Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai rezim keamanan teknologi pertahanan yang dibutuhkan agar transfer teknologi kapal selam dapat terwujud. (miq/miq)
Akuisisi kapal selam merupakan salah satu program Kementerian Pertahanan dalam Minimum Essential Force (MEF) tahap ketiga tahun 2020-2024. Menteri Keuangan telah mengalokasikan anggaran senilai US$ 600 juta pada akhir April 2021 dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) untuk membeli satu kapal selam dengan tonase antara 1.800 ton-2.800 ton. Kebutuhan kapal selam pada MEF tahap ketiga sebenarnya minimal tiga kapal selam, namun kondisi fiskal pemerintah yang tertekan karena pandemi Covid-19 membuat Kementerian Keuangan tidak dapat langsung memenuhi hal tersebut dalam satu kali alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN). Pengadaan kapal selam mensyaratkan adanya paket offset karena Indonesia memiliki aspirasi politik untuk menguasai teknologi kapal selam.
Pada APBN Tahun Anggaran 2015, Kemenkeu telah mengucurkan Penanaman Modal Negara (PMN) Rp 1,5 triliun kepada PT PAL Indonesia untuk membangun fasilitas produksi kapal selam. Kucuran PMN itu untuk mendukung kontrak pembelian tiga kapal selam diesel elektrik DSME 209/1400 sebesar US$ 1,1 miliar di mana galangan Korea Selatan (Korsel) menjanjikan alih teknologi sehingga Indonesia akan memiliki kemampuan domestik untuk membangun kapal selam. Namun faktanya tiga kapal selam DSME 209/1400 yang telah diserahkan kepada Indonesia mempunyai beragam permasalahan teknis sehingga lebih banyak terikat di pangkalan daripada melaksanakan misi patroli. Terdapat kekecewaan terhadap keandalan teknologi kapal selam Korsel, namun itu adalah harga yang harus dibayar ketika memutuskan membeli kapal selam ke galangan yang belum memiliki pengalaman matang dalam teknologi kapal selam.
Kemenkeu kembali mengalirkan Rp 1,28 triliun dalam APBN Tahun Anggaran 2021 kepada PT PAL Indonesia untuk melengkapi fasilitas produksi kapal selam. Namun BUMN yang pernah dipimpin oleh Presiden ke-3 RI (Alm) B.J. Habibie ini belum membelanjakan dana PMN tersebut karena harus menunggu keputusan Kemenhan mengenai kapal selam yang akan dibeli oleh Indonesia. BUMN yang berpusat di Surabaya ini nantinya akan membeli peralatan produksi kapal selam yang sesuai dengan kapal selam pilihan Kemenhan. Dengan kata lain, harus ada keselarasan antara pilihan kapal selam Kemenhan dengan pembelanjaan PMN untun melengkapi peralatan produksi kapal selam.
Dewasa ini terdapat empat negara di dunia yang menjadi kiblat pengembangan teknologi kapal selam diesel elektrik, yaitu Jerman, Prancis, Swedia dan Rusia. Jerman telah mengekspor teknologi kapal selam ke Korsel sehingga berkontribusi terhadap kemampuan Negeri Ginseng mendesain dan membangun kapal selam secara mandiri. India dan Brasil mendapatkan ekspor teknologi kapal selam dari Prancis agar dapat mengembangkan kapal selam secara domestik. Rusia mengekspor teknologi kapal selam ke India pasca Perang Dingin, sehingga order of battle kapal selam India terdiri dari kapal selam buatan Prancis dan Rusia.
Berdasarkan pengalaman akuisisi tiga kapal selam DSME 209/1400, Indonesia harus memahami peta akar teknologi kapal selam diesel elektrik di dunia. Fakta menunjukan bahwa hanya Jerman, Prancis, Swedia dan Rusia yang telah berpengalaman lebih dari 100 tahun dengan teknologi kapal selam dan menjadi acuan negara-negara berkembang. Dengan mempertimbangkan CAATSA, Rusia tidak mungkin menjadi pilihan Indonesia untuk memasok kapal selam, begitu pula dengan Swedia karena kapal selam buatan Kockums belum memiliki pelanggan internasional.
Ilustrasi Riachuelo kapal selam tipe Scorpene SBR yang dibuat untuk AL Brazil [Naval Group, Marinha do Brasi]
Sehingga secara alamiah pilihan logis yang tersedia bagi Indonesia untuk akuisisi kapal selam adalah Jerman dan Prancis. ThyssenKrupp Marine Systems sebagai penerus Howaldtswerke-Deutsche Werf telah menawarkan kapal selam baru kepada Indonesia, termasuk pula tawaran alih teknologi kapal selam. Jerman memiliki kebijakan luar negeri yang ketat menyangkut perdagangan pertahanan, sebab masih berpegang pada diktum Hans-Dietrich Genscher, yaitu was schwimmt geht, was rollt geht nicht. Mengacu pada diktum Genscher, peluang ekspor kapal selam Jerman ke Indonesia adalah sebuah keniscayaan dibandingkan dengan peluang ekspor kendaraan tempur darat.
Prancis melalui Naval Group merupakan opsi lainnya bagi Indonesia untuk kembali membangun kemampuan peperangan bawah airnya yang kini terpuruk. Naval Group telah menunjukkan keseriusan untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan kapal selam Indonesia, termasuk komitmen untuk melakukan pembangunan kapal selam kelas Scorpene sepenuhnya di Indonesia. Dengan konsep L'autonomie strategique, Paris menawarkan bantuan untuk membangun kemampuan industri pertahanan Indonesia apabila Jakarta membeli kapal selam kelas Scorpene. Dibanding dengan beberapa negara Eropa, Prancis mempunyai karakter kebijakan luar negeri yang relatif independen dan tidak ingin tergantung pada sepenuhnya pada NATO.
Ekspor kapal selam berikut teknologi merupakan bagian dari hubungan diplomatik antarnegara. Izin ekspor tidak hanya didasari oleh kepentingan ekonomi negara eksportir, tetapi pula relasi diplomatik negara eksportir dengan negara importir senjata. Jerman dan Indonesia memiliki hubungan diplomasi yang baik tanpa ada isu-isu tertentu yang menjadi ganjalan. Prancis pun mempunyai hubungan diplomatik yang bagus dengan Indonesia dan dalam urusan perdagangan pertahanan, para petinggi Prancis telah memberikan sinyal positif mendukung hal tersebut.
Jerman dan Prancis secara politik menganut kebijakan luar negeri yang membuka peluang ekspor kapal selam ke negara lain sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Namun di balik hal tersebut, bagaimana komitmen Indonesia untuk melindungi teknologi kapal selam yang mungkin diberikan oleh negara eksportir melalui paket offset? Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai rezim keamanan teknologi pertahanan yang dibutuhkan agar transfer teknologi kapal selam dapat terwujud. (miq/miq)
⚓️ CNBC
sumber : https://garudamiliter.blogspot.com/
0 Response to "Teknologi Kapal Selam & Kebijakan Luar Negeri Para Eksportir"
Post a Comment