Riba dan Gharar dalam Arisan

Pertanyaan:

Di kampung saya ada arisan yang diadakan berbarengan dengan pertemuan RT. Acaranya tidak murni arisan, tetapi ada juga problem solving untuk berbagai masalah ke-RT-an. Dalam setiap pelaksanaan arisan itu, hadirin dijamu oleh tuan rumah. Yang menjadi tuan rumah adalah siapa yang namanya keluar dalam undian arisan sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, ada yang menyampaikan bahwa arisan yang kami praktikkan tidak sesuai dengan syariat Islam karena mengandung riba dan gharar. Benarkah bahwa dalam arisan seperti yang kami praktikkan tersebut mengandung riba dan gharar?

illustrasi

Jawaban:

Arisan tidak pernah terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah ataupun para sahabat. Oleh karenanya ia masuk kategori nazilah atau suatu peristiwa yang muncul setelah masa nubuwah berakhir. Hukum suatu nazilah ditetapkan oleh para ahli fikih atau kita lebih sering menyebutnya dengan para ulama. Kemungkinan terjadinya perbedaan hasil ijtihad dalam menentukan hukum suatu nazilah adalah hal yang lumrah terjadi dan diakui dalam Islam.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm: 57 dinyatakan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi di antara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.

Hukum Asal Arisan

Pertanyaan tentang arisan pernah ditanyakan kepada para ulama, dan mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya.

Pendapat pertama, arisan hukumnya haram dan termasuk riba.

Ini adalah pendapat Prof.Dr.Shalih bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdulaziz bin Abdillah Alu Syaikh, dan Syaikh Abdurrahman al-Barak. Argumentasi mereka sebagai berikut:

1.    Setiap peserta dalam arisan ini menyerahkan uangnya dengan akad hutang bersyarat. Yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga oleh peserta yang lain. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh jarra naf'an). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang memberikan kemanfaatan adalah riba dan hukumnya haram.

2.    Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap ridha Allah dan membantu meringankan orang lain. Menghutangkan dengan tujuan menjadikan hutang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang lain hukumnya haram.

3.    Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi seperti dua jual beli dalam satu transaksi (bai'atain fi bai'ah) yang dilarang oleh Rasulullah sg dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi ss melarang dua jual beli dalam satu jual beli. (HR. Ahmad dan dihasankan Syaikh al*Albani dalam Irwa'ul Ghalil 5/149)

Pendapat kedua, arisan hukumnya boleh. Ini adalah pendapat yang dikeluarkan oleh Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta' Kerajaan Arab Saudi nomor fatwa: 164, Th. 1410 H. Ketika fatwa ini dikeluarkan, ketua Lajnah Da imah adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah juga membolehkannya. Bahkan beliau mengatakan hukumnya sunnah, karena merupakan salah satu cara untuk mendapatkan modal dan mengumpulkan uang yang terbebas dari riba.

Di antara dalil yang dijadikan sandaran pendapat yang kedua adalah:

1.    Firman Allah yang artinya, "Dialah Zat yang menjadikan apa-apa yang ada di bumi ini semuanya untuk kamu.”(QS. al-Baqarah: 29)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memberikan semua yang ada di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama menyebutnya dengan istilah al-imtinan (pemberian). Oleh karenanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya.

2.    Firman Allah yang artinya, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah: 2). Ayat ini memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, dan tujuan "arisan" itu sendiri adalah menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya.

3. Hadits Rasulullah berikut:


Aisyah , ia berkata, "Rasullulah sg apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah. Sehingga mereka berdua pun bersama beliau." (HR Muslim, no: 4477) Hadits ini menunjukkan bahwa melakukan undian dibolehkan, tentunya yang tidak mengandung perjudian dan riba.

Dari kedua pendapat tersebut, pendapat kedua lebih kuat. Arisan tidak termasuk akad memberikan pinjaman dengan syarat peminjam memberi pinjaman juga kepada pemberi pinjaman pertama. Hakikat arisan adalah satu akad pinjaman, yaitu yang menerima uang terkumpul menerima pinjaman dan nantinya dibayar dengan cara mencicil kepada setiap anggota secara berkala. Dan, sekalipun mendatangkan manfaat bagi pemberi pinjaman tetapi bukanlah termasuk manfaat yang diharamkan, karena manfaat ini tidak hanya untuk pemberi pinjaman, akan tetapi juga untuk yang menerima pinjaman. Pun sama besar manfaatnya. Dan manfaat yang sama nilainya untuk pihak pemberi pinjaman dan peminjam tidak termasuk manfaat yang diharamkan.

Hukum Jamuan dalam Arisan

Mengkategorikan jamuan dalam arisan seperti yang saudara tanyakan ke dalam riba tidaklah tepat. Sebab, untuk orang yang namanya keluar pada giliran ke 11 dengan peserta berjumlah 21, hidangan yang disiapkannya adalah untuk 10 orang yang mengembalikan pinjaman dan untuk 10 orang yang memberinya pinjaman. Apalagi, acara arisan bukan hanya arisan. Jika harus, kiranya lebih tepat jika dikatakan ada syubhat riba di situ.

Untuk lebih selamatnya, bisa ditetapkan, urutan penjamu tidak berdasarkan siapa yang namanya keluar dalam arisan, tetapi sesuai dengan urutan nomor rumah atau urut abjad. Wallahu a’lam.

Diambil dari Majalan An Najah Edisi 1 261 Rojab – Sya’ban 1437 H | Mei 2016

sumber : http://www.jurnalmuslim.com

0 Response to "Riba dan Gharar dalam Arisan"

Post a Comment