Hukum Air Kencing/Seni Bayi Dalam Islam

Jurnalmuslim.com - عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

Artinya: “dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa dia datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan. Rasulullah lalu mendudukkan anak kecil itu dalam pangkuannya sehingga ia kencing dan mengenai pakaian beliau. Beliau kemudian minta diambilkan air lalu memercikkannya dan tidak mencucinya.” (H.R.Bukhari)

illustrasi

Oleh : Ustadz Abu Asiyah Zarkasyi

■ Takhrij Hadits

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya Kitab al-Wudhu', Bab'Air Kencing Bayi". Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya Kitab ath-Thaharah, Bab "Hukum Kencing Bayi Yang Masih Menyusu dan Cara Mencucinya".
Selain dari jalur Ummi Qais, JAl Imam Bukhari dan Muslim Mk juga meriwayatkan dari jalur Aisyah.

Selain hadits di atas, ada hadits lainnya yang berbunyi, "Kencing bayi perempuan dicuci, dan kencing bayi laki-laki diperciki."
Hadits ini memiliki beberapa jalur. Pertama, dari jalur Ali bin Abi Thalib yang derajat haditsnya shahih. Kedua, dari jalur Abi Samhi, salah satu pembantu Rasulullah 3^. Imam Ibnu Abdil Barri dan Imam al-Mizzi menamainya dengan lyyad. Derajatnya haditsnya shahih. Ketiga, dari jalur Lubabah binti Harits (istri Abbas paman Nabi) dan kedudukannya shahih. Keempat, dari jalur Ummi Kurzin al-Khazza'iyah tapi haditsnya dhaif. Kelima, dari jalur Ummi Salamah istri Nabi. Keenam, dari jalur Anas ibnu Malik dan haditsnya dhaif. Ketujuh, dari jalur Zainab binti Jahsyin istri Nabi dan haditsnya dhaif. (Lihat, al-Badru al-Munir Ibnul Mulaqqin, 1/530-539).

Ummu Qais binti Mihshon adalah sahabat wanita dari golongan muhajirin. Nama aslinya Aminah. Bayi yang ia bawa menemui nabi meninggal pada masa beliau masih hidup. Tidak diketahui siapa nama bayi tersebut. Wanita yang berasal dari Bani Asad ini adalah saudari kandung Ukasyah, seorang sahabat yang didoakan Rasulullah 55 termasuk 70 ribu orang yang masuk Jannah tanpa hisab. Ummu Qais termasuk sahabat wanita yang pertama hijrah ke madinah. la diberi karunia usia yang panjang berkat doa Rasulullah (Fathul Bari, 1/326; Taqribat-Tahdzib, 758).

■ Intisari Hadits

Banyak pelajaran bisa diambil dari hadits ini. Antara lain:

1.    Para sahabat biasa membawa anak-anak mereka menemui Nabi sg untuk mendapatkan berkah dari doa beliau. Termasuk Ummi Qais binti Mihshon. Rasulullah menyambut mereka dengan senang dan lapang dada. Ummu Qais mengajak bayinya yang masih kecil dan belum mengkonsumsi apapun selain ASI. Nabi meletakkan bayi Ummi Qais di pangkuannya dengan penuh kasih sayang. Ketika bayi tersebut kencing dan mengenai bajunya, beliau hanya meminta diambilkan air untuk dipercikkan air tanpa dicucinya. (Taisir al-'Allam, 1/71).

2.    Berdasarkan ijma' atau kesepakatan ulama, najis berupa air seni dibersihkan dengan cara dibasuh/dicuci air. Terkecuali air seni bayi laki-laki yang masih meminum ASI dan tidak mengkonsumsi makanan tambahan. Cara mencucinya cukup dengan dipercikkan air sampai basah.

3.    Adapun kencing bayi perempuan, walaupun tidak makan nutrisi tambahan dan hanya meminum ASI saja, cara membersihkannya dengan dibasuh/dicuci dengan air.

4.    Air seni bayi laki-laki yang hanya meminum ASI saja dikategorikan sebagai najis ‘ainiyah mukhaffafah. Sedangkan kencing bayi perempuan meski hanya minum ASI saja, dikategorikan sebagai najis ‘ainiyah mutawassithah.

5.    Sifat bau, warna, rasa dan kelekatan air kencing bayi perempuan lebih kuat dibanding bayi laki-laki yang hanya meminum ASI. Hal ini bisa dibuktikan lewat penelitian ilmu pengetahuan modern.
6.    Sebuah penelitian modern membuktikan bahwa urin bayi laki-laki yang hanya meminum ASI tidak mengandung bakteri sebagaimana jenis bakteri yang terkandung pada kencing bayi perempuan. Maka dari itulah Islam memerintahkan untuk mencuci kencing bayi perempuan dan tidak perlu mencuci bekas kencing bayi laki-laki yang masih minum ASI. Tapi cukup diperciki air saja sampai basah.

7.    Imam Syafi'i pernah ditanya tentang perbedaan antara kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Beliau menjawab, "Karena kencing bayi laki-laki itu dari unsur air dan tanah. Sedangkan kencing bayi perempuan dari unsur daging dan darah." Lalu beliau menjelaskan, "Sesungguhnya ketika Allah telah menciptakan Adam, Dia menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Hal ini menjadikan kencing bayi laki-laki dari unsur air dan tanah. Dan menjadikan kencing bayi perempuan dari unsur daging dan darah." (Nashbu ar-Rayah, 1/126).

■ Perbedaan Pendapat Para Ulama

Seluruh ulama' sepakat bahwa air seni manusia hukumnya najis; baik urin dewasa, anak-anak ataupun bayi yang masih menyusu. Kecuali Daud azh-Zhahiri yang memiliki pendapat yang syadz (berlainan) yang mengatakan bahwa kencing bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan apapun selain ASI hukumnya suci dan tidak najis. Tapi, pendapatnya ini ditolak lantaran bertentangan dengan ijma'

Adapun pernyataan bahwa Ibnu Batthal, al-Qadhi lyadh dan al-Qurthubi telah menukil pendapat Imam Syafi'i yang mengatakan kencing bayi laki-laki adalah suci tidak benar. Tidak ada sumbernya dalam tulisan-tulisan para pengikut Imam Syafi'i. (Thorhu at-Tatsrib fi Syarhi at-Taqrib, 2/140).

Para ulama bersepakat dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum air seni bayi adalah najis. Yang menjadi perbedaan atau khilaf ialah cara membersihkan benda yang terkena air kencing bayi. (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi, 111/195).

Dalam masalah ini, pendapat para ulama terbagi menjadi tiga:

Pendapat pertama, madzhab Hanafi dan madzhab Maliki mengatakan bahwa caranya dengan dicuci/dibasuh dengan air, sebagaimana najis-najis lainnya. Baik kencing bayi laki-laki atau bayi perempuan. Apakah sudah mengkonsumsi makanan tambahan ataukah hanya minum ASI saja.

Pendapat ini juga pendapat Imam ats-Tsauri dan penduduk Kufah, serta menjadi pendapat dalam madzhab Syafi'i tapi dianggap lemah. (Al-Mughni, 2/68; Syarah Shahih Muslim, 3/195).

Imam al-Kasani berkata, “Dan telah diriwayatkan oleh Muhammad ibnu al-Hasan (sahabat Abu Hanifah) bahwasanya cukup dengan diperas di akhir proses mencuci. Dan jawaban kami ini adalah sama antara urin bayi laki-laki dan bayi perempuan." (Bada'i ash-Shanal, 1/88).

Dalam kitab madzhab Hanafi yang berjudul al-lkhtiyar Lita'lil al-Mukhtar (1/32) disebutkan, "Demikian juga urin bayi laki-laki dan bayi perempuan, baik yang sudah makan ataupun belum. Berdasarkan haditsyang kami riwayatkan secara umum bahwa urin bayi laki-laki yang belum makan adalah disucikan dengan an-nadhhu. Disebutkan bahwa makna an-nadhhu adalah mencuci/membasuh."

Imam Malik berkata, "Bayi perempuan dan bayi laki-laki hukum urinnya sama walaupun belum makan apapun. Apabila mengenai baju, cara mencucinyadengan dicuci/dibasuh." (Al-Mudawwanah, 1/131).

Pendapat kedua, kencing bayi laki-laki ataupun bayi perempuan cukup dibasahi/
diperciki saja. Ini adalah pendapat Imam an-Nakha'i dan al-Auza'i. Pendapat ini disebut lemah dalam madzhab Syafi'i dan Maliki. (Nailul Authar, I/80; al-Majmu', II/589-590).

Pendapat ketiga, membedakan antara kencing bayi perempuan dan bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan apapun selain ASI. Bekas kencing bayi perempuan dicuci/dibasuh. Sedangkan bekas kencing bayi laki-laki yang hanya minum ASI diperciki sampai. Jika sudah memakan makanan selain ASI, cara membersihkannya dengan dicuci/ dibasuh dengan air, dikucek dan diperas.

Pendapat terakhir ini adalah pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad, lshaq, Abu Daud, Ibnu Wahab (ulama' besar Maliki), dan Daud azh-Zhahiri. (Lihat, al-Mughni, II/68; al-Majmu', II/590).

Imam Nawawi dalam al-Majmu' (II/589) berkata, "Terdapat tiga pendapat dalam masalah kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan yang belum memakan makanan tambahan selain ASI. Dan yang shahih adalah pendapat yang mewajibkan mencuci/ membasuh bekas kencing bayi perempuan dan cukup memercikkan bekas kencing bayi laki-laki dengan air."

Imam Ibnu Qudamah berkata, “Kencing bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan apapun cukup diperciki air sampai basah. Tidak perlu sampai disiram dan diperas. Sedangkan kencing bayi perempuan, caranya dicuci/dibasuh meskipun belum mengkonsumsi makanan apapun." (al-Mughni, II/67).

Pendapat ketiga inilah yang lebih dekat kepada hadits-hadits yang shahih dan sesuai dengan maksud dan makna hadits. Dan lebih dipilih oleh para ulama' muhaqqiq seperti Imam Ibnu Hazm, Syaikhul Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, Syaikh al-Mubarakfuri dan Syaikh Muhammad Shalih'Utsaimin. (Lihat, al-Muhalia, 1/113; Syarhu al-'Umdah, 1/98; l'ldmu al-Muwaqqi'in, 11/45; Tuhfatu al-Ahwadzi, 1/201; asy-Syarhu al-Mumti', 1/437-438)."

Diambil dari Majalah An Najah Edisi 126 Rojab - Sya'ban 1437 H Mei 2016

sumber : http://www.jurnalmuslim.com

0 Response to "Hukum Air Kencing/Seni Bayi Dalam Islam"

Post a Comment