Era Kegelapan Komisi Pemberantasan Korupsi
Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak *)
Jurnalmuslim.com - Korupsi adalah kejahatan luar biasa, semua anak negeri ini sepakat. Namun, gagal membuat kesepakatan bahwa koruptor harus kita benci, karena sebagian justru merawat nalar toleransi terhadap korupsi, mereka yang membenci dan menolak bertoleransi terhadap praktik korupsi disebut manusia sok suci.
Bila yang tertangkap adalah lawan politik, maka ramai-ramai menghujat dengan bingkai narasi kebencian terhadap sang koruptor. Sebaliknya, bila yang ditangkap berasal dari kelompoknya, suku, agama atau afiliasi politik yang sama, ramai-ramai menuduh penangkapan itu adalah rekayasa, konspirasi politik tingkat tinggi, dan menuduh aparatur hukum seperti KPK tidak profesional dan konspiratif.
Drama mendukung dan membenci karena menguntungkan dan merugikan kelompoknya adalah dialektika jamak yang bisa kita tengok setiap hari melalui media sosial maupun media konvensional yang ada. Berbekal informasi yang terbatas-karena memang ruang informasi kita yang asimetris-pertempuran saling ejek atau mendukung, disajikan setiap hari di sosial media, miskin makna, karena memang tidak mengusung nilai kesejatian. Yakni nilai antikorupsi yang otentik, yang diusung adalah semangat kelompok, afiliasi politik atau kedaerahan.
Menjadi antikorupsi ketika yang terlibat adalah lawan politik. Sebaliknya, menjadi pembela koruptor ketika yang terlibat adalah mitra politiknya. Otentisitas absent ketika bersikap terkait dengan masalah korupsi, tidak mudah memang merawat otentisitas sikap dalam isu korupsi, karena eksisnya budaya ewuh pakewuh dalam komunitas.
Di tengah fakta dialektika publik di atas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi obyek utama yang diperbincangkan. Ada harapan dan kepercayaan yang disandarkan publik kepada KPK. Namun, ada pula kebencian dan dendam yang terus dirawat oleh sebagian kelompok, dan tentu mereka yang membenci dan dendam ini keberatan dan marah bila disebut sebagai koruptor atau pembela koruptor. Namun, mereka selalu menyebut diri sebagai pencari kebenaran dan keadilan, karena dalam setiap operasinya tidak semua yang ditangkap oleh KPK sebenarnya adalah orang-orang yang betul-betul bersalah. “KPK bukan malaikat” kata mereka. Saya sepakat, karena tidak ada satu orang pun yang pernah menyampaikan KPK adalah malaikat, oleh sebab itu proses hukum akan membuktikan apakah KPK salah menangkap atau tidak.
Di sosial media beredar luas, foto saya memegang uang Rp 100 juta, yang akan dilaporkan ke KPK terkait dengan dugaan suap Densus 88 kepada keluarga Siyono. Di samping foto saya tersebut ada foto Ketua DPD Irman Gusman yang mengenakan seragam tersangka korupsi orange milik KPK. Pada meme tersebut tertulis kalimat “Laporan 100 Juta terkait Densus 88 dibilang bukan korupsi, namun OTT 100 Juta Irman adalah korupsi”.
Terlepas dari nalar yang keliru dalam membandingkan kedua kasus tersebut, setidaknya meme-meme yang berisi sindiran kepada KPK ramai disebarkan di media sosial. Termasuk, terkiat ketika KPK melakukan OTT terhadap panitera yang menangani kasus artis Dangdut Saiful Jamil. Kritik ramai menghampiri KPK, kasus kakap tidak ditangani, tapi kasus teri ditangani segera.
Belakangan ini, apa pun yang dilakukan KPK dalam pemberantasan korupsi, terutama penangkapan koruptor, selalu mendapat kritik konstruktif sampai sekedar ke-nyinyir-an dan kebencian terhadap KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka yang biasanya mempercayai penuh KPK mulai ragu dan mengkritik keras KPK. Akarnya sederhana, banyak kasus-kasus besar yang masih belum mampu diselesaikan oleh KPK bahkan kecenderungan perspektif publik saat ini KPK takut dan menghindar bila kasus korupsi tersebut terkait dengan pihak kepolisian atau pihak yang sedang berkuasa. Ada apa dengan KPK jilid ke 4 ini?.
Kepercayaan Publik
Kurang lebih 15 tahun KPK berdiri, sejatinya kekuatan yang menopang kedigdayaan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah harapan dan kepercayaan publik. Rakyat Indonesia seolah memiliki harapan untuk Indonesia yang lebih adil dan sejahtera ketika penegakan hukum (law enforcement) terhadap kasus korupsi ditangani oleh institusi hukum khusus, bernama KPK, karena harapan publik sudah pupus terhadap aparatur hukum lainnya seperti kepolisian, kejaksaan bahkan kehakiman, untuk mengatasi masalah korupsi, karena institusi-intitusi itu sendiri berlilitan dengan praktik korupsi.
Ketika KPK lahir, harapan besar langsung dialamatkan kepada KPK, meskipun sebagian kekuatan KPK justru juga di supply dari institusi hukum lain, lingkungan baru ternyata membangun tradisi baru, Meskipun, banyak juga yang gagal melakukan institusionalisasi budaya baru tersebut, pada akhirnya menjadi 'kudis' bagi KPK ditengah orang-orang yang berusaha keras membangun 'nilai' kebaikan atau budaya kebaikan yakni budaya antikorupsi melalui penegakan hukum.
Ketika budaya antikorupsi dan semangat juang lawan korupsi menghujam kuat di hati anak-anak negeri yang bekerja untuk KPK, dibarengi kepercayaan publik yang semakin besar, kasus-kasus korupsi besar mulai ditangani KPK, dan tentu gelombang besar kepercayaan publik terus hadir mengawal KPK, di tengah keberanian yang sedang 'on fire', hadir mereka yang mulai merasa sangat terganggu dan terancam dengan kerja-kerja KPK tersebut. Perlawanan sistematik pun dilancarkan. Kekuasaan yang besar dimobilisir untuk melawan.
KPK Bak anak muda yang 'on fire' dengan modal idealisme yang diusung dan dirawat, ditambah dukungan publik yang ramai, harus diredupkan, harus dilumpuhkan. Agaknya begitu narasi yang dibangun oleh kekuatan yang merasa terganggu dan terancam dengan agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK 'si anak muda yang on fire' itu.
Padamkan api integritas sehingga dukungan dan kepercayaan publik dengan sendirinya akan melemah bahkan hilang. Pada akhirnya, apa pun yang dilakukan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi akan dipenuhi dengan dialektika publik yang bunyi jamaknya dipenuhi dengan keraguan dan kecurigaan.
Pelemahan dan Kuda Troya
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah upaya pelemahan itu sukses membangun narasi dialektika publik yang bunyi-bunyiannya dipenuhi dengan keraguaan dan kecurigaan?. Agaknya, kecenderungan menuju kesuksesan telah terlihat sejak rezim Joko Widodo memerintah.
Upaya pelemahan terhadap KPK berkali-kali dilakukan secara massif. Mulai diera Presiden SBY melalui berbagai kasus seperti rekening gendut dan semilator SIM yang kita kenal sebagai pertarungan 'Cicak-Buaya'. Perlawanan terhadap upaya KPK mengusut kasus tersebut dilakukan secara sistematis, meskipun perlawanan tersebut mampu ditahan KPK dengan apik, tentu melalui 'benteng' masyarakat sipil yang mendukung KPK dengan sepenuh hati. Demikian pula ketika pemerintah di bawah pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI berulangkali mengajukan rencana revisi UU KPK yang juga pernah coba dilakukan pada era pemerintahan Presiden SBY. Penolakaan berjamaah tetap dilakukan oleh publik, sehingga tidak jadi direvisi.
Dibandingkan dengan upaya-upaya pelemahan sebelumnya. Peristiwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK jilid 3 yang kemudian mendapat perlawanan yang sengit dari Budi Gunawan melalui praperadilan yang dimenangkan oleh Budi Gunawan, agaknya menjadi awal cerita sukses melemahkan KPK dengan sistematik. Kriminalisasi terhadap komisoner dan penyidik KPK, yang berujung kepada dinonaktifkan dua orang komisioner KPK yakni Abraham Samad dan Bambang Widjayanto.
Ketika, penonaktifan inilah, bagi saya, kekuasaan memulai aksi strategi Kuda Troya melemahkan KPK, dengan cara memasukkan pelaksana tugas komisioner KPK, yang dikemudian hari banyak melakukan perubahan-perubahan yang destruktif diinternal KPK.
Strategi Kuda Troya kembali dilakoni melalui recruitment Komisioner KPK yang baru, mulai dari komposisi Timsel KPK, dan proses di Komisi 3, sampai terpilihnya 5 komisioner yang baru kepercayaan publik mulai mengalami dekadensi. Keraguan publik khususnya masyarakat sipil menyeruak. Namun, keraguan itu berusaha disimpan, dengan menitipkan harapan kepada 5 komisioner baru dan para penyidik serta pegawai KPK. Masyarakat sipil percaya, mereka akan segera menjawab keraguan publik tersebut dengan aksi-aksi lawan korupsi yang lebih fenomenal dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Dalam harapan tersebut. Ada doa dengan narasi berbaik sangka.
Namun, bak punguk merindukan bulan, masyarakat sipil agaknya melihat tren yang justru tidak positif, yang justru memberikan energi besar untuk mereka yang membenci agenda pemberantasan korupsi dengan membangun narasi kebencian atas nama mencari keadilan karena KPK dianggap tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus besar. Ketidakmampuan KPK menyelesaikan kasus-kasus besar ini dijadikan narasi untuk melakukan pembelaan bahwa KPK melakukan tebang pilih dan dikendalikan oleh kekuasaan dalam menangkap beberapa tersangka korupsi.
Narasi-narasi mengungkapkan kelemahan dan ketidakmampuan KPK menyelesaikan kasus besar. Apalagi, bila terkait dengan jejaring pemodal besar yang terhubung langsung dengan kekuasaan, dijadikan narasi pembelaan seolah mereka korban dari ketidakadilan KPK, ditambah lagi dengan kapasitas komunikasi publik yang sangat buruk yang dimiliki KPK saat ini.
No point to return. KPK harus berbenah, seluruh elemen didalam KPK harus mengembalikan integritas dan kepercayaan publik, jangan biarkan mengalami diminishing return. Budaya dan semangat jihad antikorupsi berbekal keberanian dan integritas itu jangan sampai rusak. Semua elemen KPK harus berani melawan kiriman Kuda Troya baru untuk merusak budaya dan semangat internal KPK, Mestakung (semesta mendukung), dalam kondisi kritis secara alamiah publik melalui masyarakat sipil antikorupsi akan mendukung penuh dengan seluruh energy kebaikan yang ada ketika KPK juga berusaha memenuhi harapan publik bekerja atas nama nilai membangun Indonesia yang sejahtera dimana watak antikorupsi dan produktivitas menjadi mesin penggeraknya. Saya percaya KPK.
*) Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
sumber : http://www.jurnalmuslim.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Hari ini Adalah Era Kegelapan Komisi Pemberantasan Korupsi"
Post a Comment