Jejak-Jejak Syariat Islam di Indonesia



Artikel ini kelanjutan dari postingan sebelumnya: Jejak-Jejak Syariat Islam di Nusantara
 
Kerajaan Islam Aceh Darussalam.

Jurnalmuslim.com - Di Aceh terdapat sekitar enam kerajaan Islam, yaitu; Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Teumiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Inderapura, dan Kerajaan inderajaya. Aceh sendiri berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pidie. Keenam kerajaan itu kemudian disatukan menjadi kesultanan Aceh Darussalam, oleh Sultan Husain Syah yang memerintah Aceh pada tahun 1465 hingga 1480 M.

Pada masa pemerintahan sulthan Alauddin Riyaat Syah yang bergelar al-Qohhar, Kesultanan bekerja sama dengan kekhilafahan Turki, baik dalam masalah dakwah dan syiar Islam, juga dalam memperkuat pasukan Islam. Misalnya, ada sekitar 40 perwira Turki yang didatangkan dari Aceh untuk membantu membendung laju kristenisasi dan juga mengajarkan pembuatan meriam untuk memperkuat militer, [SNI Perspeltif Baru, hlm. 111-112)

Sedangkan pada masa Sulthan Iskandar Muda, dan menantunya Sulthan IskandarTani, kesultanan Aceh Darussalam bisa dibilang mencapai keemasannya. Baik dibidang dakwah, ekonomi ataupun militer. Perhatian terhadap pengajaran al-Qur'an luar biasa. Sehingga terjadi penerjemahan al-Qur'an ke bahasa Melayu.

illustrasi

Kerajaan Islam Makassar.

Masuknya Islam melalui dakwah Sunan Giri -salah satu ulama di jajaran Wali Songo-di pulau Sulawesi membawa kemajuan yang sangat baik bagi bangsa di sana. Sebab mereka sudah lama dalam kungkungan tradisi jahiliyah; seperti minum arak, judi, zina dan kedzaliman-kedzaliman para pemilik kekuasaan terhadap rakyat biasa.

Kerajaan Islam Makassar mencapai puncak keemasannya pada zaman Sultan Ala'uddin, dan Sultan Hasanuddin. Semangat islamisasi di kerajaan Goa ini luar biasa. Para da'i dan juru dakwah benar-benar disupport dengan berbagai macam sarana-prasarana. Islamisasi kerajaan Islam Makassar, sampai ke negeri seberang. Seperti Bima, Nusa Tenggara Barat.

Spirit penerapan syari'at Islam ini membuat kerajaan Islam Makassar tidak sudi dijajah oleh negara asing yang membawa agenda memadamkan syari'at Islam. Saat penjajah Kristen Belanda datang ke Makassar, dengan membawa misi kristenisasi dan kolonialiasasi, panggilan jihad untuk melawan penjajah ini pun berkumandang.

Jejak-jejak syariat Islam juga bisa dilacak pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam lainnya, yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Seperti negara Islam Banten, kerajaan Islam Banjar, Kerajaan Islam Cirebon, dan lain-lainnya.

Dalam beberapa serat-serat (manuskrip) keraton dan para ulama zaman kerajaan, disebutkan keharusan untuk kembali kepada hukum Islam. Misalnya Serat Centhini ditulis pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem Kasunanan Surakarta, yaitu: Kyai Yasadipura

1.            Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad llhar). Penulisan itu atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwana V (1820-1823).

Dalam serat ini ditulis beberapa kitab klasik sebagai rujukan berislam. Berbagai kitab klasik itu sesuai isinya dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu Kitab Fiqih dan Ushul Fiqih, kitab Akidah dan Tauhid, Kitab Tafsir, dan Kitab Tasawuf.

Serat Centhini menyebut tidak kurang dari delapan kitab akidah dan tauhid. Yaitu:

1.           Kitab Semarakandi, menunjuk kitab Bayan 'Aqidah al-Ushul karya Ibrahim as-Samarqandi.

2.            Kitab Durat yaitu Kitab Ad-Durrah karya Yusuf al-Sanusi al-Hassani.

3.            Kitab Talmisan - juga disebut Kitab Tilmisani- adalah karya Umar bin Ibrahim al-Tilmisani yang berisi komentar atas Kitab Durah.

4.            Kitab Asanusi, karya al-Sanusi yang juga merupakan komentar atas Kitab Durah.

5.            Kitab S a i I, menunjuk pada Kitab Masa'il karya Abu al-Laits as-Samarqandi. Kitab ini juga dikenal dengan nama Bayan'Aqidah al-Ushul.

6.            Kitab Patakul Mu bin yaitu kitab Fath al-Mubin karya Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri.

7.            Kitab Tasdik menunjuk pada kitab Bayan at-Tasdiq.

8.            Kitab Juwahiru menunjuk pada Kitab Al-Jawahir ats-Tsaniyah fi Syarh as-Sanusiyyah,ditulis oleh Abdullah as-Sughayir Suwaidan.

Dalam kitab fikih (hukum) ada beberapa buku yang disebut di serat ini. Diantaranya: Kitab Mukarar, Sujak, Kitab Ibnu Kajar, llah, Subkah, dan Kitab Sittin.3Kitab Mukarar tak lain adalah Kitab Al-Muharrar karya Muhammad ar-Rafi'i yang digunakan secara luas oleh penganut Mazhab Syafi'i.

Ada juga serat-serat yang ditulis oleh Sunan Bonang. Isinya perintah untuk berpegang teguh dengan syariat Islam. Misalnya, serat Suluk Wujil. Naskah ini diyakini merupakan ajaran yang diwariskan oleh Sunan Bonang kepada muridnya yang bernama Wujil. Diperkirakan ditulis pada masa pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (Hanyakrawati) di Mataram.


Ada juga serat Cabolek. Serat ini merupakan karya dari Kyai Yasadipura. Dengan mengambil latar belakang Kerajaan Mataram Kartasura masa pemerintahan Sunan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya Sunan Paku Buwana II (1729-1749), Serat Cabolek bercerita tentang kisah Haji Ahmad Mutamakin dari Desa Cabolek, Tuban (ada yang menyebut berasal dari Pati) yang diadili oleh Ulama Mataram karena sikap keagamaannya.


Kesimpulan

Dalam disertasinya di Universitas Indonesia, Prof Dr Rifyal Ka'bah memaparkan bahwa sejatinya, hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia selama ratusan tahun, jauh sebelum kaum penjajah Kristen datang ke negeri ini. Sultan Malikul Zahir dari Samudera Pasai, misalnya dikenal sebagai seorang ahli agama dan hukum Islam yang terkenal pada pertengahan abad ke-14M. Di kerajaan ini hukum Islam madzhab Syafii diterapkan dan disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lain di kepulauan Nusantara.

Banyak ahli hukum menulis berbagai kitab tentang hukum Islam untuk menjadi panduan tentang hukum Islam di tengah masyarakat. Tahun 1628, Nuruddin ar Raniri menulis buku hukum Islam yang diberi judul as Shirath al Mustaqim, Buku ini merupakan buku hukum Islam pertama yang disebarluaskan di wilayah Nusantara. Syekh Arsyad al Banjari memperluas uraian buku tersebut dalam karyanya Sabilul Muhtadin, sebagai panduan penyelesaian masalah hukum di Kesultanan Banjar.

Di berbagai kerajaan Islam, seperti Banten, Palembang, Demak dan sebagainya juga diberlakukan hukum Islam. Jadi selama beratust ahun, sebelum kedatangan penjajah Kristen Belanda, hukum Islam memang merupakan hukum positif yang berlaku di berbagai wilayah Nusantara.

Belanda senantiasa menghalangi pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Perang Diponegoro (1825-1830) terjadi karena Belanda menghalang-halangi penerapan hukum Islam di Jawa. Pangeran Diponegoro dan sahabat-sahabatnya menuntut penerapan hukum Islam di Jawa.

Melihat fakta sejarah di atas, sangatlah tepat para ulama yang terlibat merumuskan kemerdekaan Indonesia ingin sekali Indonesia menjadi negara Islam. Bahkan rumusan pertama dasar negara ini yang disusun oleh Panitia Sembilan adalah menjadikan "kewajiban melaksanakan syariat Islam"sebagai dasar (sila) pertama.



Memperjuangkan Indonesia sebagai negara yang bersyari'ah, dan menuntut pelaksanaan syariat Islam di negara ini bukanlah perkara yang tabu. Tetapi memang inilah warisan nenek moyang kita yang memperjuangkan persatuan dan kemerdekan bagi negara kita* (Akrom Syahid)

Panitia kecil beranggotakan 9 orang dan dikenal pula sebagai Panitia Sembilan dengan susunan sebagai berikut: Ir. Soekarno (ketua), Drs. Moh. Hatta (wakil ketua), Mr. Achmad Soebardjo (anggota), Mr. Muhammad Yamin (anggota), KH. Wachid Hasyim (anggota), Abdul Kahar Muzakir (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), H. Agus Salim (anggota), Mr. A.A. Maramis (anggota)

Tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan:

a.            Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

b.            Kemanusiaan yang adil dan beradab

c.             Persatuan Indonesia

d.            Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

e.            Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Diambil dari Majalah An Najah Edisi 129 | Syawal - Dzulqo'dah 1437 H | Agustus 2016


sumber : http://www.jurnalmuslim.com

0 Response to "Jejak-Jejak Syariat Islam di Indonesia"

Post a Comment