Catatan Penting Untuk Para Muslimah; Menjadi & Mencari “Madu” Terbaik

Oleh: Ummu Ghaida Al-Indunisiyah

Jurnalmuslim.com – Sudah sangat sering kita mendengar bahwa Daulah Islam ini adalah Khilafah ‘ala Minhaj An-Nubuwwah. Kalimat tersebut seringkali didengungkan dan dikumandangkan. Karena Khilafah ini berpijak pada manhaj kenabian, maka tidak diperkenankan bagi seorang muslim dan muslimah menerima manhaj Nabi Muhammad yang sesuai dengan hawa nafsunya, lalu menolak apa yang tidak disukai dan bertentangan dengan hawa nafsunya. Di Daulah Islam, seluruh syariat Allah ditegakkan tanpa terkecuali, baik syariat yang dirasa mudah dan kita sukai, maupun yang tidak disukai. Bahkan setiap detil syariat yang dilupakan banyak manusia, maka niscaya Daulah Islam memperhatikannya, mengaplikasikannya, dan menampilkannya ke permukaan. Termasuk juga adalah syariat ta’addud az-zaujat (poligami) yang secara gamblang Allah paparkan di dalam Al-Quran, dan merupakan bagian dari metodologi profetik (minhaj an-nubuwwah).

illustrasi

Saudariku seagama, wajib untuk kita yakini bahwa tidaklah Allah menurunkan syariat agama yang hanif lagi sempurna ini, melainkan niscaya terkandung banyak hikmah yang baik. Demikian pula dengan syariat yang membolehkan bagi seorang lelaki muslim untuk beristri lebih dari satu –namun dibatasi tidak lebih dari empat wanita-. Betapa Maha Agungnya Allah, membekali banyak hikmah agung di balik syariat poligami. Ada sebagian hikmah yang dapat diverifikasi dengan panca indera kita, dan ada banyak hikmah lainnya tidak kita ketahui, namun Allah Maha Mengetahui.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisaa’: 3)

Allah memulai firman-Nya dengan: “Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” Dari ayat ini, sebagian ulama berpendapat bahwa hukum asal menikah adalah ta’addud (poligami) dengan lebih dari satu wanita, bukan hanya dengan seorang saja. Namun apabila khawatir tak dapat berbuat adil, maka nikahilah seorang saja.

Wahai saudariku, menjauhlah engkau dari setiap syubhat yang dilancarkan orang-orang kafir demi merusak agamamu dan tatanan syariat Islam. Dalam artikel bertajuk Ta’addud Az-Zaujat: Minhaj An-Nabi di buletin An-Naba’, edisi 35, Ramadhan 1437 H, terdapat keterangan yang mesti diperhatikan seorang muslimah. Disebutkan, seorang muslimah yang berakal tidak akan memedulikan apa yang dipropagandakan musuh-musuh Allah bahwa poligami adalah kezaliman bagi perempuan, melanggar hak-hak wanita, dan bias gender. Orang-orang kafir berusaha mencitrakan bahwa laki-laki yang melakukan taddud adalah lelaki egois yang mengikuti syahwatnya dan tidak berlaku adil pada istri pertamanya.

Syubhat yang dihembuskan kaum kafir menjadi bencana yang menimpa para wanita muslimah, hingga menyebabkan sebagian mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Syubhat tersebut ditanamkan melalui drama serial buruk dan artis-artis murahan yang memasuki rumah-rumah kaum muslimin hingga merusak akal dan agama mereka. Sehingga seseorang sampai berpikiran bahwa syariat Allah ini menjadi penyebab rusaknya rumah tangga istri pertama, dan istri kedua seorang pengkhianat yang membangun kebahagiaannya di atas rusaknya keluarga lain. Haihata…haihata!

Mustahil bagi Allah membuat syariat yang mengandung kezhaliman dan kerusakan untuk hamba-Nya. Akan tetapi merupakan hikmah dan rahmat Allah bagi para hamba-Nya yaitu membolehkan lelaki menikahi lebih dari satu istri. Sebab dengan suami menikah lagi, maka dapat memberi keluasan waktu bagi istri untuk beribadah kepada Rabbnya, memberinya kesempatan untuk belajar ilmu syar’i dan meningkatkan wawasan keislaman, serta untuk lebih memperhatikan dirinya dan mengajari anak-anaknya ilmu agama.

Dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi seorang wanita ada beberapa masa yang tidak mungkin baginya menunaikan kebutuhan biologis suaminya, seperti ketika sedang haid dan nifas. Maka manakah di antara keduanya yang lebih suci dan bertakwa bagi seorang suami; untuk memiliki istri lain yang bisa menjaga kesucian dirinya ataukah dia memandang yang haram dan melakukan perzinaan?! Na’udzubillah!

Wahai saudariku, tidakkah engkau senang jika suamimu tergolong sebagai orang terbaik umat ini, karena mengamalkan syariat poligami, dan berbuat adil di dalamnya? Disebutkan bahwa laki-laki terbaik dari umat ini adalah yang paling banyak wanitanya. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Jubair:

قال لي إبن عباس: هل تزوجت؟ قلت: لا, قال: فتزوج فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء

“Ibnu Abbas pernah bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Dia kemudian berkata, ‘Menikahlah, karena orang yang terbaik dari umat ini adalah seorang yang paling banyak wanitanya.'” (Shahih Al-Bukhari)

Terlebih lagi, jika diketahui bahwa saat ini jumlah wanita lebih banyak dari jumlah kaum laki-laki, dan ini menjadi salah satu tanda menjelang Hari Kiamat. Bagi siapa yang memperhatikan, jumlah wanita semakin bertambah dan jumlah lelaki semakin berkurang, disebabkan peperangan dan berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat muslim. Terutama di Daulah Islam saat ini, ketika banyak laki-laki menemui kesyahidan mereka, dan semakin bertambah angka janda syahid. Hal demikian tidaklah terjadi melainkan Allah ingin menyempurnakan urusannya. Rasulullah bersabda:

من أشراط الساعة أن يظهر الجهل و يقل العلم و يظهر الزنا و تشرب الخمر و يقل الرجال و يكثر النساء حتى يكون لخمسين امرأة قيمهن رجل واحد

“Diantara tanda-tanda Hari Kiamat adalah kebodohan merajalela, sedikitnya ilmu, perzinahan merajalela, diminumnya khamar, sedikitnya jumlah laki-laki sementara jumlah wanita semakin banyak, bahkan lima puluh wanita yang ditanggung satu orang laki-laki.” (Shahih Al-Bukhari)

Wahai saudariku, tidakkah engkau memerhatikan sabda Rasulullah tadi? Di akhir zaman saat mendekati Hari Kiamat, jumlah wanita akan melampaui jumlah lelaki, betapa banyak para gadis maupun janda yang ingin merasakan kehidupan berumah tangga bersama lelaki yang akan mengayomi, mengasihi, serta membimbingnya menuju surga Allah. Namun barangkali harapan mereka kandas, karena tidak berimbangnya jumlah laki-laki dengan jumlah perempuan di zaman ini, sementara para lelaki yang ada telah menikah namun istri mereka tidak mengizinkan suaminya untuk menjalankan syariat yang mulia dan indah ini dengan berbagai macam alasan sarat hawa nafsu.

Jika kita menyadari bahwa saat ini mendekati akhir zaman yang sedikit jumlah lelakinya dan banyak jumlah wanitanya, maka siapakah yang akan menjaga para janda dan mengayomi anak yatim, serta melindungi para wanita yang tidak bersuami? Sedangkan para sahabat yang mulia berlomba-lomba melindungi para wanita yang suaminya terbunuh atau mati. Dengan syariat poligami, wanita muslimah harus menyadari bahwa dia memiliki saudari muslimah yang menjanda yang tidak memliki seseorang untuk memenuhi hajatnya dan memperhatikan segala kemaslahatannya, mencukupi mereka dari buruknya permintaan, dari perkara yang memaksa salah seorang dari mereka untuk meminta sesuatu yang aneh, dan ini merupakan salah satu pintu fitnah yang harus ditutup oleh para muslimah muwahhidah.

Kemudian ada juga beberapa wanita yang Allah uji dengan kemandulan, maka manakah di antara keduanya yang lebih utama; seorang suami menuruti kemauan istrinya dan membiarkannya tetap dalam perlindungannya kemudian suami menikahi wanita lain yang bisa melahirkan anak untuknya, maka istri pertama tetap bisa hidup dalam perlindungan suaminya serta mendapat perhatian dan perlakuan yang baik. Ataukah sang istri hidup selamanya tanpa memiliki keturunan disebabkan karena dirinya lebih mementingkan perasaannya, dan didominasi hawa nafsunya agar ada seseorang yang memanggil suaminya ataupun dirinya.

Saudariku yang dirahmati Alllah, cobalah untuk sejenak engkau membayangkan dan memposisikan dirimu ada posisi mereka, pernahkah engkau berfikir bagaimana bila kelak suatu saat engkau atau putrimu berada di posisi seperti saudarimu yang saat ini begitu mendambakan seorang pendamping, atau mereka sangat ingin melahirkan keturunan-keturunan yang kelak berjuang menegakkan panji tauhid, namun mereka menginginkannya melalui jalan halal, salah satunya adalah menikah dengan suamimu?

Maka relakanlah suamimu untuk menjadi salah seorang pendamping dari para wanita itu, berbagilah engkau dengan mereka. Insyaa Allah, tiada satu pun syariat yang Allah tetapkan, melainkan di dalamnya mengandung limpahan kebaikan. Syariat poligami akan menjaga ‘iffah saudarimu, membuatnya terhindarnya dia dari fitnah yang merusak agama dan kehormatan. Dan engkau juga akan memiliki rekan dan teman seperjuangan untuk mengawal suamimu agar senantiasa berada di jalan ketaatan kepada Allah, membantumu merawat dan menjaga anak-anakmu, atau menolongmu untuk merawat rumahmu.

Terutama lagi bila suamimu menikahi seorang janda beranak yatim, atau janda seorang syahid. Maka pundi-pundi kebaikanmu pun nilai ibadahmu akan bertambah, karena engkau ambil bagian dalam mengasuh dan mengayomi anak yatim. Serta kebaikan-kebaikan lainnya, semisal bila dari pernikahannya dengan madu terbaikmu melahirkan banyak generasi tangguh penerus perjuangan Islam. Bukankah hal demikian (banyaknya anak) menjadi salah satu hal yang Rasulullah banggakan kelak di Hari Kiamat? Tidakkah engkau senang untuk berkontribusi di dalam amal kebaikan dari syariat ini?

Bertakwalah kepada Allah, ya ukhti! Jangan sampai engkau menjadi sarana kemaksiatan dan fitnah yang menimpa saudari-saudarimu. Banyak saudarimu larut dalam kesendirian, ‘dibunuh’ sepi dalam waktu lama nan panjang, karena tak jua menemukan partner perjuangan yang seakidah. Janganlah engkau menjadi sarana kemaksiatan suamimu, sebab dia bermaksud menjalankan syariat agung ini, namun engkau menghalangi-halanginya, disebabkan emosi dan nafsu dominanmu yang mengangkangi syariat Allah.

Rasa cemburu adalah sebuah keniscayaan di hatimu. Penulis pun tidak pernah menafikan perasaan tersebut. Bahkan, Hal ini dirasakan juga oleh sosok para wanita terbaik umat ini, yaitu para ibunda kaum beriman; para istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab mereka, aku, dan juga engkau adalah seorang manusia yang Allah bekali emosi, perasaan, dan naluri kewanitaan. Cemburu adalah salah satu sifat manusiawi. Dengan rasa cemburu, menandakan betapa engkau mencintai suamimu. Tidak ada yang salah ataupun keliru. Namun bila sampai rasa cemburu itu menguasai jiwamu hingga mendorongmu menentang syariat poligami murni karena syahwatmu, tanpa ada ‘udzur syar’i apapun, maka ini adalah sebuah tindak kekafiran terhadap Allah. Apakah engkau sebisa mungkin mengusahakan mendapatkan kecintaan dari manusia (baca: suami), dengan mengalahkan kewajiban mencintai Allah dan Rasul-Nya?

Sifat cemburu merupakan fitrah yang Allah berikan kepada setiap wanita, tidak ada wanita yang bisa hidup tanpa perasaan yang bersifat naluriah ini. Dan Allah hanya membebani sesuai kemampuannya, akan tetapi Allah Yang Maha Mengetahui bahwa wanita bisa menanggung beban dari perasaan ini.

Ummul Mukminin Aisyah binti Ash-Shiddiq –semoga Allah meridhai dirinya dan juga ayahnya— menjadi teladan dalam hal ini. Banyak dikisahkan tentang sifat cemburunya Aisyah, namun sifat cemburunya merupakan cemburu terpuji yang dibingkai oleh syariat, ketakwaan, serta rasa takut dari siksa Allah. Jika seorang wanita muslimah hendak menjadikan seseorang panutan, maka hendaklah menjadikan Aisyah sebagai panutannya. Aisyah yang senantiasa bersabar dan menahan dirinya saat dia melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi wanita-wanita lain. Dia tidak menentang syariat Rabbnya, juga tidak membangkang kepada suaminya dan meminta cerai, sebagaimana yang sering dilakukan sebagian muslimah hanya karena sebab cemburu. Padahal Nabi Muhammad melarang wanita dari hal yang berbahaya ini. Beliau bersabda,  “Siapapun wanita yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga.” (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Wahai saudariku, takutlah dari akibat meminta talak atau khulu’ dengan sebab suaminya melaksanakan hak syar’inya untuk menikahi wanita kedua, ketiga, atau keempat. Allah berfirman, “Boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (At-Tahrim: 5).

Apakah engkau tahu kepada siapa ayat mulia tadi ditujukan? Ayat tersebut tertuju kepada Ibunda Kaum Beriman yang berada di rumah Nabi sebagai istri-istri Rasul Shallallahu A’laihi wa Sallam di dunia pun di surga. Dan apakah ada wanita selain mereka, yang lebih bertakwa kepada Rabbnya, dan lebih menaati suaminya selama tidak bermaksiat pada Allah?

Jika nafsumu mendorongmu untuk merusak ketaatanmu kepada Allah, Rasulullah, dan suamimu atau bahkan –yang juga kerapkali terjadi— engkau memaksa suamimu untuk mentalak madumu, maka ini adalah satu dosa besar yang kelak engkau akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Kewajiban terbesarmu hanyalah taat kepada Rabbmu, Rasulmu, dan suamimu semaksimal kekuatanmu, dan selama suamimu berada dalam jalur ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bilamana suamimu tidak bersikap adil kepadamu ataupun kepada madumu, maka kelak di Hari Akhir, dirinya pun akan memikul beban atas ketidakadilannya di hadapan Allah.

Allah pun mewanti-wanti para lelaki dengan firman yang gamblang: “Dan jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil maka cukup nikahi satu saja.” (An-Nisaa`: 3) Dan Nabi pun bersabda, “Barangsiapa yang memiliki dua orang istri, kemudian dia cenderung kepada salah seorang diantara keduanya, maka dia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan sebelah badannya miring.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasaa`i, dan Ibnu Majah)

Kebanyakan wanita –kecuali yang Allah rahmati— lantas berhujjah mengeksploitasi ayat Al-Quran, bahwa lelaki yang berpoligami pasti akan berlaku zalim dan lalim.  “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisaa`: 129).

Hal ini merupakan persepsi yang keliru, sebab adil yang disebut dalam ayat ini adalah adil dalam perasaan serta kecenderungan hati yang seorang hamba tidak mungkin bisa mengendalikannya sedikitpun, karena hal itu berada dalam genggaman Allah. Ayat ini turun setelah ayat yang berbunyi, “Dan jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil maka cukup nikahi satu saja.” (An-Nisaa`: 3) . Lalu dihilangkanlah kesulitan dari orang mukmin yang mereka kira bahwa adil yang dimaksud adalah adil secara mutlak, dan karena rahmat Allah, maka Dia menjelaskan adil yang dimaksud dan menghilangkan kesulitan.

Lalu, apabila istri takut suami berlaku zhalim dan tidak adil di antara para istrinya serta berburuk sangka pada suaminya, maka seorang muslimah tidak diperbolehkan menentang suaminya pada sesuatu yang Allah perbolehkan. Apalagi jika dia sampai memprovokasi suaminya agar menceraikan istri yang lainnya. Rasul memberikan larangan:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يبيع حاضر لباد و لا تناجشوا و لا يبيع الرجل على بيع أخيه و لا يخطب على خطبة أخيه و لا تسأل المرأة طلاق أختها لتكفأ ما في إنائها

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang orang kota menjual untuk orang desa, dan melarang meninggikan penawaran barang (yang sedang ditawar orang lain dengan maksud menipu), dan melarang seseorang membeli apa yang dibeli (sedang ditawar) oleh saudaranya, melarang pula seseorang meminang (wanita) pinangan saudaranya dan melarang seorang wanita meminta suaminya agar menceraikan isteri lainnya (madunya) dengan maksud periuknya sajalah yang dipenuhi (agar belanja dirinya lebih banyak).” (Shahih Al-Bukhari, no. 1996)

Dalam hadits lainnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan,

 لا يحل لإمرأة تسأل طلاق أختها لتستفرغ صفحتها فإنما لها ما قدر لها

“Tidak halal bagi seorang wanita untuk meminta (kepada suaminya) agar saudari semadunya diceraikan dengan maksud agar nafkahnya lebih banyak. Sesungguhnya baginya adalah apa yang telah ditakdirkan untuknya.” (Shahih Al-Bukhari)

و لا تسأل المرأة طلاق أختها لتكفئ صفحتها ولتنكح فإنما لها ما كتب الله لها

“Dan janganlah seorang istri meminta suaminya supaya menceraikan madunya agar segala kebutuhannya terpenuhi, akan tetapi biarkanlah suami menikah (sesuai dengan kemampuannya), karena Allah telah menentukan bagiannya sang istri.” (Shahih Muslim, no. 2519)

Maka dari itu, sayangilah dirimu sendiri wahai saudariku, agar tidak terjerumus dosa karena menomorduakan syariat Allah, dan lebih memelihara nafsumu. Sayangilah pula saudari-saudarimu yang lain, berilah kesempatan kepada mereka untuk merasakan apa-apa yang engkau rasakan dan menjalani apa-apa yang engkau jalani, berilah “madu” terbaik untuk suamimu, dan jadilah engkau madu terbaik! Sebab tiada balasan terbaik bagi seorang perempuan beriman lagi bersabar dalam ketaatan kepada Rabb-Nya, melainkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, kenikmatannya abadi, keindahannya adalah sesuatu yang tidak pernah terlihat mata, tidak pernah terlintas di pikiran, dan tidak pernah terdengar telinga.

Oleh sebab itu, bantulah suamimu untuk menjadi salah satu umat terbaik umat ini, berilah “madu”mu batu loncatan untuknya memasuki surga Allah, serta lapangkanlah jalanmu untuk bertemu mereka kembali di surga-Nya. (manjanik)

sumber : http://www.jurnalmuslim.com

0 Response to "Catatan Penting Untuk Para Muslimah; Menjadi & Mencari “Madu” Terbaik"

Post a Comment